6. Terrore

3.1K 253 25
                                    

Sang fajar mulai menyingsing, beberapa orang silih berganti untuk bersih-bersih. Kurang lebih sepuluh orang pelayan, lima belas penjaga dan empat tukang kebun bergegas melakukan tugasnya masing-masing. Dari luar, hunian megah bergaya eropa klasik yang dipenuhi dengan beraneka ragam bonsai mahal ini hampir tidak nampak. Tembok tinggi dengan kawat berduri yang dialiri listrik menjadi penghalang jarak pandang. Saat salah seorang pelayan menyibakkan gorden ruang kerja tuannya, ia melihat deretan angka ditulis dengan cat berwarna merah darah menempel apik pada kaca jendela.

"Apa ini?" gumamnya. Sang pelayan yang tadinya sibuk mengamati angka-angka aneh di hadapannya kemudian beralih ke ruang tamu. "Siapa yang bertamu sepagi ini?"

Saat pintu dibuka, tidak ada siapapun. Si pelayanan mengerdarkan pandangan kemudian mengernyit heran. Ia hendak menutup pintu kembali namun ekor matanya menangkap adanya sebuah paket tergeletak di atas lantai tepat di depan pintu.

"Milik siapa ini?" ujarnya kemudian menengok ke arah sekitar, "Mungkin milik tuan," lanjutnya kemudian menutup pintu.

Sang pelayanan mengantarkan paket tersebut pada tuannya yang tengah duduk di taman belakang sambil menikmati secangkir kopi. "Permisi, tuan. Ini ada paket untuk tuan, tadi saya temukan di depan pintu," ujarnya sembari menyodorkan kotak persegi berwarna merah darah yang terlihat cantik.

Pria paruh baya yang merupakan pengusaha sekaligus elite politik dan salah satu anggota Four Heroes, Mahendra Kusuma meletakkan cangkir kopi yang tengah disesapnya. Tatapan tajamnya mengamati kotak persegi yang diterima dengan seksama. Ia mengernyit heran, seharusnya jika paket dikirimkan maka yang menerima adalah penjaga gerbang depan. Tidak serta merta ada di depan pintu. Hendra menerima kotak tersebut kemudian mengibaskan tangan. Si pelayan melenggang pergi.

Ia memutar-mutar kotak yang berada di tangannya, "Siapa yang mengirimiku hadiah?" gumamnya. Hendra mencoba untuk menerka-nerka apa isi dari kotak tersebut. Namun, tiba-tiba dering ponsel dengan id-caller Wijaya Harianto membuat ia beralih meraih ponselnya.

"Halo," sapa Hendra dengan santai.

"Hendra, apa kau menerima sebuah bingkisan hari ini?" Hendra mengernyitkan dahinya.

"Ya, bagaimana kau bisa tahu, Jay?" tanya Hendra.

"Apa kau sudah membuka isinya? Aku dan Jhonny mendapat bingkisan berwarna merah darah dan isinya pun sama."

Hendra meletakkan ponselnya dan mengaktifkan mode speaker. Hendra membuka kotak itu dengan kasar, ia berjingkat jijik melihat benda yang berada di dalamnya. "Apa-apaan ini? Ulah siapa lagi, hah?" Garis wajahnya semakin menajam karena amarah. Seekor bangkai tikus yang disayat-sayat beserta belati berlumuran darah adalah isi dari kotak yang mereka bertiga terima.

"Aku juga tidak tahu, lihatlah surat kalengnya!"

Hendra menarik sebuah amplop putih di dalamnya lalu membukanya. "Kertasnya kosong?" tanya Hendra.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi, aku juga menerima kertas kosong."

"Tuan," seorang pelayan kembali menghampirinya.

Hendra menoleh ke arah si pelayan dengan tatapan mengintimidasi. Ia tidak suka ada yang menyela obrolannya. "Ada apa?" ketus Hendra.

"Anu-, tuan. Itu-, anu-," si pelayan ketakutan hingga kebingungan memilih kosakata.

"Bicara yang jelas! Ada apa?" bentak Hendra.

"Eng-, anu, itu-" Hendra semakin kesal.

"Anu apa? Kau panuan? Kenapa harus bilang padaku, hah?" Hendra menaikkan nada bicaranya.

[2] La Cosa NostraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang