Alunan elegi pilu dialunkan sang anak bermata sayu
Di tengah teriknya sang surya yang kian menyilaukan mataku
Tapi anak itu, tak putus sumangat sampai bait itu radu
Suara itu, merdu dan mendayu-dayu
Tak terdengar sumbang meski masih wagu
Buat ku ikut mendendangkan senandung itu.Anak itu, buatku ragu lalu bertanya dengan kalbu;
Tidakkah seharusnya ia meregup waktu bersama bendu?
Namun bersusah, dia bergulat dengan gitar nan bertandu di bahuJreng jreng
Sekali lagi, petikan gitar terdengar meramu lagu
Satu petik, dua petik ... kembali ke vocal satuPayah ....
Lelah ....
Namun dia beralah, percayalah ini bukan ajujah!
Karna aku menangkap nadanya, jeritan hati dibalik irama itu
Kudengar rintihan kelu seraya tembang itu terus berlalu
Kerling matanya tersorot rindu akan bahtera terbelengguBakdahu elegi itu teradukan, dia mendengu
Saat tangannya masih kosong tak dibantu
Hanya dinikmati melodi tanpa imbalan seribuNamun dia hapus kusut air muka, kembali mengusung gitar lusuh
Mengitari jalan demi kenyang yang tak keburu
Bergesa dia, takut diluru sang waktu
Takut tak sempat bertandang ke tempat mengaduSaat langkahnya tak berjarak di mukaku, aku memberhentikannya dan mengeluarkan opini benakku.
Dan dia menyahut,
aku nak pergi kerjakan kewajiban pada tuhanku. Lalu sambung mencari rupiah untuk ayahanda yang tak berdaya di gubuk bambu.
Jawabnya buatku terenyuh,
dimana mereka yang mengumbar janji akan sejahtera secara menyeluruh?Ve (11.10.16)
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Sang Pemimpi
PoetrySelamat datang di dunia yang bertabur gemerlap aksara. Persembahan dari seorang yang mempunyai banyak mimpi, namun terlalu banyak luka yang menghalangi. Terima kasih teruntuk kalian yang sudah menjadi inspirasi bagiku untuk menulis puisi-puisi ini. ...