Chapter 3 Langkah Pertama

651 22 0
                                    


Suara ocehan guru yang samar terdengar, melawan lantunan bisik-bisik ceria para murid. Sesekali aku melirik kearah depan kelas, tidak menghiraukan guru yang membaca bukunya sendirian dengan lantang. Tepat diatas whiteboard yang penuh coretan, sebuah jam dinding menari pelan.

"Masih lima belas menit lagi...Aku bosan."

Merapatkan pipiku disebuah meja yang dingin, aku tenggelam perlahan dalam rasa kantuk yang tertahan. Sebelum aku menyerah menutup kedua mataku, sebuah benda melayang membentur kepalaku. Benda itu memantul jatuh tepat didepan mataku. Sebuah gumpalan kecil kertas berwarna pink. Kepalaku bangkit, Elisabeth tersenyum menunjuk-nunjuk kearah kertas ditanganku. Mengerak-gerakan kedua bibirnya yang sepertinya menyuruhku untuk membacanya. Momo yang kelihatannya tertarik dengan tingkah Elisabeth yang duduk disampingnya menatapku dengan heran. Akupun mulai terusik dengan kertas ditanganku. Aku membuka lipatannya dengan hati-hati. Sebuah untaian kalimat dengan tulisan rapi tersusun dengan baik.

Simpati yang tulus.

Akan mengundang suatu hal yang ajaib.

Tatapan mata yang kaget saat sang lidah api berwarna emas menghilang.

Ramainya suara kembang api bercampur histeria para penonton.

Ingatkan kita tentang cahaya bintang yang telah mati.

Aku terus berjuang dalam beton yang dingin dengan kristal putih manis.

Perasaan aneh bergejolak, tanpa aku sadari aku tersenyum. Rasa bosan yang daritadi menghantuiku berubah menjadi semangat yang berapi-api.

"Apa ini Elisabeth?."

Aku berbisik kearah meja disebelahku. Elisabeth hanya menunjuk jam ditangannya. Mengerti apa yang dia maksud, aku kemudian kembali menfokuskan pandanganku kearah kertas yang sudah lecek itu.

"Satu-satunya yang mungkin aku mengerti adalah kalimat ketiga. Hmm...Sang lidah api berwarna emas...Monas?...Cuma teori bukan fakta, Kejahilan Elisabeth mulai menuju ke level yang berbahaya?, tidak dapat menyimpulkan, datanya terlalu minim, surat peringatan?... ya ampun ini murni surat tantangan." Gumamku.

Guru yang berdiri tegak didepan kelas sudah mulai melihat jam ditangannya, menandakan monolog panjangnya akan segera usai. Guru yang walapun keliatan sudah tua itu mulai berjalan dengan gagah menuju meja miliknya. Memeriksa buku absen kelas dimejanya dia lalu mulai menulis sesuatu dibuku yang dibawanya. Tak lama kemudian suara yang cukup nyaring berbunyi, bel yang menandakan istirahat pertama dihari yang terasa sangat lama itu. Segera setelah murid memberikan salam hormat kepada sang guru yang masih asik dengan tulisannya, aku bergegas menuju meja Elisabeth. Pertanyaan-pertanyaan yang haus akan sebuah jawabannya sudah berada diujung tenggorokanku.

"Halo nona Elisabeth!."

"Ada apa tuan detektif ? Kamu menyadari pesonaku lalu mau nembak Aku?" Elisabeth yang masih duduk, menyeringai meledekku sambil cuek memasukan buku pelajarannya.

"Ne-ne-nembak?" Momo yang duduk disampingnya ikut nimbrung kebingungan

"Hehehe... Kenapa Momo san kamu cemburu?"

"Engga enggak enggak. Aku duluan ya." Momo beranjak dari bangkunya lalu pergi meninggalkan buku pelajaran yang masih ada dimejanya.

"Wah wah sepertinya kamu membuatnya salah paham tuan detektif. Sepertinya kamu harus minta maaf padanya nanti."

"Kenapa? Aku kan engga melakukan apa-apa. Kamu lah yang membuatnya jadi rumit."

"Sebaiknya kamu bercermin tuan detektif wajahmu yang serius itu bisa membuat cewe yang polos seperti aku ini salah paham." Elisabeth memandangku dengan genit lalu mengedipkan sebelah matanya.

Satria Nusantara High School Detective Case 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang