Chapter 7 Jaring Laba-laba Hitam

420 15 2
                                    

Ragaku yang lunglai melangkah diatas ubin marmer berkilap putih, sorot mata penuh tanya menyinari jalanku. Jariku masih gemetar, kepalaku perih terbelit kain putih, bercak merah kehitaman menempel di bajuku. Ditambah bau antiseptik yang pekat menjadi jejak kentara langkahku. Bukan dari medan perang atau panggilan jihad. Hanya kunjungan kecil. Kunjungan kecil kerumah seorang teman yang baru kukenal.

"SATRIA!" Seorang guru memekik, melotot, memegangi mulutnya dengan erat. Tanpa mengindahkannya, aku terus berjalan dengan rasa perih berpadu malu akibat dari tindakanku yang ceroboh.

"Momo dan Klienku menunggu." Hanya itu yang aku pikirkan.

Ruangan itu masih belum juga terlihat. Langkahku semakin terasa berat. Rasa perih yang menyerang tubuhku itu tiba-tiba menghilang, hanya kehampaan, sinar-sinar kecil mengaburkan pandanganku, tubuhku lemas terjungkal menghianati semangatku yang berapi-api.

****

Beberapa jam sebelumnya.

"Ingat Momo jangan biarkan Fani keluar dari ruangan ini. Kepanikannya akan membuatnya bertambah rumit. Melibatkan orang dewasa juga bukan hal yang bijak." Ujarku pada partner setiaku yang berada didepanku. Momo hanya mengiyakankan, dengan wajah kecil lucunya dia menatapku seakan memberiku semangat. Sinar matanya adalah wujud dari harapannya kepadaku. Kerutan di dahinya bentuk kekhawatiran akan tindakan beresiko yang akan kulakukan.

"Baka." Katanya sembari membalikkan tubuhnya dari pandanganku.

Aku meninggalkan sekolah itu dengan resolusi yang kuat. Meyakinkan gadis baik seperti Momo adalah hal yang paling sulit. Tapi sekarang semuanya tergantung kepadaku. Sebentar lagi tanganku akan menggapainya, sebuah kotak hitam milik Fani yang Ia tutup rapat. Terkunci dengan untaian mata rantai ketakutan, ditambah gembok besar berwujud senyum kepalsuan. Kotak Pandora. Kotak yang dia sembunyikan didalam rumahnya. Rumah besar yang dingin dengan pohon-pohon yang mati didalamnya.

Setelah memikirkan dengan matang rencana yang sudah kubuat. Akhirknya aku masuk kedalam bus itu. Aku melihat banyak tempat duduk yang masih kosong, entah karna rute yang kurang populer atau memang bukan jam sibuk. Aku kemudian berjalan menuju tempat duduk yang paling belakang. Tenggelam dalam kemungkinan-kemungkinan teori yang aku buat, sambil terus menikmati pemandangan jalan dari dalam busway.

Melodi langkah kaki samar-samar mengusikku. Suara yang terus membayangiku sejak turun dari busway. Bunyi sepasang sneakers yang bergesekan dengan aspal. Aku menghentikan langkahku beberapa saat setelah melewati gang yang sempit, memastikan keberadaan sosok penguntit yang mengikutiku. Bersandiwara seperti orang yang kelelahan, aku lalu duduk dibahu jalan. Semilir angin membawa aroma harum yang manis. Benang-benang keemasan terlihat berkibar dengan anggun.

"Nona Elisabeth Worth sepertinya punya banyak waktu luang ya." Seruku sambil menahan kedua ujung bibirku yang terangkat sendiri.

"Hehehe... Sejak kapan menyadarinya?" Jawab sosok yang bersembunyi dibalik gang sempit. Menahan rambutnya dari jamahan angin yang nakal, lalu menyilangkan tangannya dengan angkuh.

"Sejak seluruh pandangan laki-laki didalam busway tertuju pada seorang perempuan yang cantik didepannya."

"Padahal aku sudah pakai wig hitam ini biar ga terlalu menonjol, susah yah jadi orang yang mempesona seperti aku." Dia memutar-mutar rambut palsu itu seperti mainan. Lalu memasukannya lagi kedalam tas ranselnnya.

"Ada apa Elisabeth?"

"Ada apa? Kamu kabur dari sekolah dengan tampang menyedihkan seperti itu, tentu saja ketua kelasmu yang baik ini jadi khawatir." Elisabeth menyeringai sambil mengacak-ngacak rambutku.

Satria Nusantara High School Detective Case 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang