Part 2

6K 586 106
                                    


Tujuh tahun berlalu ....

Langit sedang merapikan seragam di depan cermin yang terletak di pojok kamar. Cukup rapi dan tampak berwibawa. Apalagi ketika mengenakan kacamata berbingkai hitam yang setiap hari membantu penglihatan. Kata teman-teman, sekilas Langit mirip dengan Afgan, solois pria berkacamata yang ganteng itu. Sayangnya, Langit kurang suka disamakan dengan siapa pun, sekalipun selebriti. Ia lebih bangga pada dirinya sendiri sebagai Langit Bastian.

Kini, Langit duduk di kelas XII Bahasa di SMA Bintang. Penampilan dan karakternya telah jauh berbeda dari Langit yang dulu. Ya, dulu ia sangat pendiam dan hanya menghabiskan waktu dengan duduk dan membaca buku. Namun, sekarang Langit bahkan menjabat sebagai ketua OSIS dan aktif melatih ekstrakulikuler karate. Jantungnya? Justru Langit tak memikirkan masalah itu. Cukup dengan check up setiap bulan dan rutin minum obat setiap hari, Langit sudah merasa tubuhnya sangat sehat dan segar.

"Kamu harus rajin menggerakkan badan dan melakukan kegiatan yang membuat pikiranmu fresh. Tapi tetap saja, kamu enggak boleh sampai kelelahan," pesan Dokter Aswin, dokter yang telah merawatnya dari kecil.

Demi keselamatan hidup, Langit tak pernah bandel. Sesibuk apa pun, jika mulai merasa payah, segera ia hentikan aktifitas dan beristirahat. Teman-teman Langit pun telah mengerti bagaimana keadaan Langit sehingga tak ada yang mengusili. Lagipula, siapa juga yang hendak berbuat usil? Langit merasa tak pernah berbuat jahat dan memiliki musuh.

Setelah penampilan dirasa cukup oke, Langit buru-buru meraih tas dan sepatu, lalu menghambur menuju meja makan.

"Duh, anak Mama kalau dandan kaya cewek. Lama banget," celetuk Mama sambil menuangkan air putih ke dalam gelas.

"Ya biar ganteng, Ma," ucap Langit. Kemudian ia melanjutkan, "Langit harus tampil perfect biar cewek-cewek di sekolah pada kecantol."

"Hm, narsisnya mirip banget sama Papa," ujar Mama sambil mencolek pinggang Papa yang konsentrasi membaca Koran. Papa melonjak kaget. Refleks, kata-kata copot keluar berkali-kali dari bibirnya.

Mama dan Langit tertawa ngakak.

"Jangan lupa minum obatnya, Langit," peringat Mama.

"Jah, hampir lupa," celetuk Langit. Ia rogoh saku celana dan mengeluarkan beberapa lembar bungkus obat yang telah dibundel rapi. Ia ambil satu pil di setiap lembarnya.

Langit meminum obat. Rasanya pahit sekali. Tapi ia sudah terbiasa dengan rasa pahit ini. Kalau waktu kecil dulu, pasti ia bakal nangis meraung-raung saat Mama memaksa memasukkan obat-obat pahit itu ke dalam mulutnya.

"Ma, Pa, Langit berangkat dulu. Assalamualaikum ," pamit Langit setelah mencium tangan mama dan papanya.

"Waalaikumsalam. Hati-hati, sayang," balas Mama.

Langit langsung menghambur keluar dan mengambil sepeda gunung kesayangannya.

"Anak kita semakin besar saja,ya, Pa?" ujar Mama sambil tersenyum.

Papa menggangguk, "Ya, selain itu dia juga sangat tampan dan cerdas. Papa bangga punya anak seperti dia."

"Mama jadi merindukan Bumi. Kapan kita akan menjemputnya, Pa? Sudah berapa tahun kita tak bertemu dengannya?" Mama menghela napas.

Papa tak menjawab. Ia langsung melipat koran dan beranjak pamit.

***

Sementara itu, Langit sedang menikmati udara pagi yang segar sambil menikmati pemandangan persawahan di sisi kanan kiri. Ia kayuh sepeda gunung dengan santai. Tak lupa ia pasang headphone untuk mendengarkan lagu-lagu favorit. Hm ... menyenangkan sekali rasanya. Langit nikmati setiap irama yang berasal dari lagu yang ia dengarkan seiring dengan masuknya udara segar ke dalam paru-paru.

Di persimpangan jalan, Langit bertemu dengan Fian dan Dani, teman sekelas Langit yang sama-sama naik sepeda gunung. Kedatangan Langit disambut dengan senyum hangat oleh kedua sahabatnya itu. Langit pun membalas senyum mereka dengan menampakkan sederetan gigi yang dihiasi satu gingsul di sebelah kiri atas.

"Wih, semringah banget kamu pagi ini, Lang!" celetuk Fian yang mulai mengayuh sepeda mengikuti Langit.

"Memangnya pernah kamu lihat aku merengut manyun galau enggak jelas?" ujar Langit sambil tertawa kecil.

Kira-kira seratus meter di depan Langit, Fian, dan Dani. Tampak seorang anak perempuan dengan seragam yang sama berjalan santai menyusuri trotoar. Bandana putih polos menghiasi rambut panjang hitam cewek itu. Wajahnya tampak manis dengan hiasan tahi lalat kecil di bawah matanya. Penampilan yang lugu membuatnya tampak sangat anggun.

"Lang, ada si Ayu tuh!" ujar Fian sambil mencolek lengan Langit.

Cewek itu memang bernama Ayu. Ayu Dewi Wulandari. Ia satu sekolah dengan Langit. Tapi Ayu duduk di kelas sebelas. Satu tingkat di bawah Langit. Sudah lama Langit merasa tertarik dengan Ayu. Lebih tepatnya saat Langit masih kelas sebelas, sedangkan Ayu masih menjadi calon siswa kelas sepuluh. Mereka bertemu pada saat masa orientasi siswa. Ayu yang sopan, baik, ramah, manis, dan puitis telah membuat Langit mengalami cinta pertama. Sayangnya, Ayu itu agak tertutup dengan cowok. Langit sendiri masih belum berani mengungkapkan perasaannya kepada Ayu. Langit takut ditolak.

Pernah Langit mencoba bertanya kepada Ayu tentang pacaran. Tapi, jawaban Ayu sungguh membuat Langit seakan dilempar ke dalam jurang dengan jutaan monster di dalamnya.

"Aku nggak pengen pacaran, Kak. Males!"

Langit langsung mengkerut. Setelah dapat jawaban itu, Langit tak pernah lagi membahas kata-kata cinta kepada Ayu. Meski pedih, Langit merasa senang juga karena itu artinya Ayu adalah cewek yang baik. Ia berbeda dari cewek-cewek zaman sekarang yang kebanyakan terjerumus dalam lembah pacaran tak sehat. Namun, Langit yakin, kalau Ayu adalah jodohnya, Ayu pasti akan berlabuh ke pelukannya juga. Cie ....

"Lang, samperin, Lang!" celetuk Dani menggebu-gebu.

"Apaan sih? Malu tahu!"

"Alah, pakai malu segala. Kamu kan biasa malu-maluin!" ujar Fian sambil tertawa cekikikan.

Langit mempercepat kayuhan sepedanya, mendahului dua temannya. Subhanallah, Ayu cantik sekali. Rambut panjangnya melambai-lambai seiring dengan irama langkah. Ingin rasanya Langit membelai kepala gadis itu. Tapi ... tidak, ah! Bisa-bisa telapak tangan Ayu melayang menampar pipinya.

Jarak antara Langit dengan Ayu semakin dekat. Langit menghentikan sepedanya tepat di depan Ayu.

"Yu, barengan yuk?" tawar Langit tanpa banyak basa-basi.

"Ecie cie ...," ledek Fian dan Dani bersamaan.

Ayu menatap Langit lekat-lekat. Ia mengerutkan kening seolah di hadapannya kini ada sesosok mahkluk asing.

"Kok bengong, Yu? Ayo!" ujar Langit.

"Gak ah!" Ayu menolak tawaran Langit. Mau duduk di mana coba? Kan sepeda gunung Langit nggak ada jok belakangnya!

"Kenapa?" tanya Langit sedikit kecewa.

"Sepeda Kak Langit nggak ada jok belakangnya. Terus Ayu duduk di mana?" tanya Ayu balik.

Langit garuk-garuk kepala. Benar juga apa yang dikatakan Ayu. Langit jadi membodohkan dirinya sendiri. Lagian asal nawarin boncengan segala, padahal jelas-jelas kalau sepeda itu tidak bisa buat berdua. Sebenarnya bisa, asal yang dibonceng rela duduk di depan jok sepeda. Tapi Ayu nggak mungkin mau.

Sementara itu, Ayu hanya bisa tertawa geli kala menatap Langit yang terbengong. Apalagi ketika melihat kakak kelasnya itu kembali mengayuh sepeda sambil garuk-garuk kepala karena malu.

Soal Langit, entah mengapa Ayu merasa kalau Langit ada perasaan lebih terhadapnya. Ya, tampak dari cara Langit memandangnya. Tapi Ayu tidak berani memastikan analisanya itu. Iya kalau benar. Kalau salah? Malu, dong! Itu berarti ia sendiri yang ke-GR-an. Tapi kalau benar, ia jadi bingung karena memang belum siap akan kehadiran cinta yang selalu dihindarinya.

***

Bab dua ini masih belum rampung. :D Vomment dulu, yuk? Kelanjutannya bakal segera diposting. :D Makasih udah baca. ^_^

Langit & Bumi (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang