Part 17

2.5K 189 5
                                    

Ayu menemukan Bumi sedang makan sendirian di kantin. Semangkok mie ayam dan secangkir es jeruk menemani. Wajah Bumi Nampak murung. Pandangan matanya tak terarah. Terlihat ia sedang memainkan hp dengan memutar-mutarnya seperti gasing di meja. Bumi memang sedang gelisah. Ia tahu, seharusnya ia menghubungi Mama dan Papa agar menjemput Langit di sekolah karena jantung kakaknya itu kambuh lagi. Namun Bumi merasa takut. Ia takut akan disalahkan lagi oleh Mama dan Papa. Ia juga tak mau merasakan bogem mentah seperti beberapa waktu lalu. Lama-lama pipi Bumi bisa jebol saking seringnya ditinju sama Papa. Bumi tak mau itu terjadi.

"Bumi?" suara Ayu mengejutkan Bumi.

Bumi terperangah.

"Kakakmu tadi sudah sadar. Syukurlah. Aku takut banget tadi," ujar Ayu.

Bumi tak menjawab. Ia malah memasang senyum kecut.

"Aku mau ngomong sesuatu padamu, Bumi," lanjut Ayu, "Tentang pagi tadi. Aku belum jawab, kan?"

"Hm, iya," jawab Bumi singkat. Ia memang sedag malas bicara. Suasana hatinya masih buruk.

"Aku juga mencintaimu, Bum. Aku juga sudah tahu kalau Kak Langit ada rasa sama aku. Aku jadi ndak enak sana kalian berdua. Tapi Kak Langit bilang dia ikhlas kalaupun kita jadian," terang Ayu.

"Langit tadi ngomong begitu?" Bumi menyipitkan sepasang matanya.

Ayu mengangguk, "Iya, Bum. Dia bicara panjang lebar soal itu. Aku rasa Kak Langit emang benar-benar sudah ikhlas dari lubuk hatinya yang terdalam."

"Jadi? Will you be my girl?" tanya Bumi pelan sambil menatap lekat-lekat wajah Ayu yang tersipu malu.

Sayangnya, Ayu menggelengkan kepalanya.

Gelengan kepala itu sudah merupakan jawaban yang cukup bagi Bumi. Itu artinya Ayu menolaknya. Senyum Bumi seketika redup. Mengapa? Bukankah tadi Ayu bilang kalau mencintai Bumi? Rasanya Bumi hendak berteriak marah. Ia tak terima dan merasa dipermainkan. Untungnya, Ayu segera menimpali dengan suatu alasan.

"Aku mencintaimu, aku sayang sama kamu. Tapi, kita nggak bisa pacaran. Aku punya komitmen tak akan pacaran dulu di masa sekolahku ini. Kalau kau mau, tunggulah aku sampai lulus. Kamu percaya sama aku kan? Sambil menunggu waktu itu, kita bisa saling mengenal diri masing-masing terlebih dahulu," terang Ayu panjang lebar.

"Aku mengerti," putus Bumi. "Maafkan aku, Ayu. Tapi aku akan menunggumu. Dengan kejadian ini, aku jadi semakin yakin kalau kamu adalah gadis yang baik. Semoga kita berjodoh, ya?" senyum Bumi mengembang tipis.

"Amin," Ayu mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah.

Lalu, keduanya sama-sama tersipu.

Bumi akan terus mengingat hari ini. Biarlah ia memiliki perasaan ini tanpa status pacaran. Toh, yang penting Ayu juga merasakan hal yang sama padanya. Tak masalah kalau Bumi harus menunggu. Ia percaya kalau Ayu tak akan mengecewakannya.

***

Langit mendapati adiknya tengah bermain gitar di teras. Wajah Bumi nampak sangat bahagia kala itu. Langit tersenyum tipis. Hatinya merasa tentram melihat mood Bumi yang tampak sangat bagus. Terang saja bagus. Kan tadi Bumi sudah resmi jadi pacar Ayu.

"Cie ... yang baru jadian," ledek Langit dengan senyum lebar. Lalu ia menaruh pantatnya, duduk di samping Bumi.

Bumi nyengir, "Apanya? Dia malah minta aku menunggunya karena nggak mau pacaran dulu. Tapi nggak apa deh menunggu. Yang penting dia juga punya perasaan yang sama denganku. Rasanya aku benar-benar bahagia hari ini. Eh, ntar keluar, yuk? Aku mau traktir kamu, nih!" ujar Bumi riang.

"Kalau ditraktir, aku mau," Langit nyengir.

Lalu ia rangkul pundak adiknya itu.

Rasa sesak menyelimuti hati Langit lagi. Ikhlaskah dia? Entah. Yang Langit tahu, hatinya merasa sangat berat. Berat untuk melepaskan Ayu, cewek yang dicintainya selama ini. Tapi Ayu telah memilih cintanya sendiri dan itu untuk Bumi, bukan untuk dirinya. Adilkah ini bagi Langit? Masih sanggupkah Langit bersemangat menjalani hidup sementara sumber penyemangatnya telah membangun komitmen cinta bersama adiknya? Hati Langit terus berontak. Keegoisan yang dipendamnya ingin melejit keluar. Namun Langit masih bisa menahan itu semua. Baginya, asal Bumi bahagia saja, itu dirasa sudah cukup bagi Langit. Setidaknya, kalaupun suatu ketika dia tak bisa bertahan lagi, dia masih bisa tenang sebab adiknya telah memperoleh kebahagiaan yang sedari dulu sangat sulit ia dapatkan.

Langit tersenyum kecut. ia menertawakan dirinya sendiri yang terlalu lemah dan pengecut.

"Hei, Langit ..." ujar Bumi membuyarkan keheningan.

"Ya?"

"Kamu benar-benar ikhlas kalau Ayu milih aku?" tanya Bumi ragu.

"Memangnya kenapa?" Langit balik bertanya.

"Aku nggak tahu kenapa, setiap kali lihat kamu aku merasa menyesal. Aku jadi bertanya-tanya sendiri. Apakah aku sudah demikian keterlaluan terhadap kamu? Aku telah merebut cewekmu. Kamu nggak marah sama aku?" tanya Bumi panjang lebar.

Langit menghela napas, lalu ia tersenyum.

"Kenapa aku harus marah? Ayu sendiri yang memilih kamu bukan?"

Hening kembali menyelimuti keduanya. Hanya hembusan angin serta petikan gitar Bumi yang sesekali terdengar memecah kesunyian. Langit sendiri kembali tenggelam dalam lamunannya. Ia kenang masa-masa pendekatannya kepada Ayu. Jika mengingat itu semua, tak menyangka rasanya ending dari pendekatan itu sendiri berakhir semenyedihkan ini.

Andai waktu bisa berputar ulang, Langit memilih untuk tidak mengenal Ayu daripada harus jatuh cinta pada gadis itu namun tak bisa memilikinya. Langit tidak yakin, mampukah ia melupakan Ayu secepat Ayu jatuh cinta pada Bumi? Tiada yang bisa menjawab itu semua kecuali waktu. Itupun kalau Langit masih memiliki waktu untuk melihat indahnya dunia lebih lama lagi.

Langit menghela napas. Dadanya terasa penat. Beribu goncangan batin melanda dan membuat sebuah bekas luka yang entah sampai kapan terukir dan sulit dihilangkan.

Sementara Bumi paham betul dengan apa yang dirasakan Langit saat ini. Namun ia pura-pura tak mengerti saja. Puaskah ia? Sepertinya tidak. Hati Bumi malah menjadi semakin terasa hampa. Bumi tak tahu apa sebabnya. Namun yang ia tahu, perasaan benci yang menggerogotinya perlahan-lahan melunak berganti menjadi sebuah rasa kasih sayang yang pernah ia miliki untuk kakaknya dulu semasa kecil. Akan tetapi Bumi berusaha membunuh perasaan sayangnya sendiri sebab di sisinya yang lain, ia benar-benar ingin menghancurkan kakaknya itu entah bagaimanapun caranya. Yang penting Langit bisa merasakan apa yang Bumi rasakan dulu. Rasa menjadi orang yang dibuang sia-sia.

Namun, sampai hatikah Bumi melakukan itu semua?

Sebenarnya hati nurani Bumi mulai berontak. Ia ingin menyudahi semua ini. Tapi entah mengapa setiap ia menatap wajah Langit, perasaan jahat itu timbul kembali. Padahal seharusnya ia mengakhiri dendam kesumatnya itu sebab ia sendiri telah berhasil merampas satu-satunya penyemangat hidup Langit yaitu Ayu.

Bumi menghela napas. Bimbang.


Thanks for reading. ^_^ Sampai jumpa di bab selanjutnya.

Langit & Bumi (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang