Part 25

2.7K 189 3
                                    



Langit duduk di gazebo. Ia berbohong ketika mengatakan hendak ke toilet. Ia ingin menemukan sebuah ketenangan. Bukan karena menghindari Leo, Albert, dan Ayu. Tapi sungguh, perasaan Langit saat ini sedang kacau. Sangat kacau.

Ia bolak-balikkan obat yang digenggamnya. Entah mengapa ia malas meminum obatnya itu. Padahal, ini adalah waktu minum obat dan dadanya mulai merasakan sakit. Namun, Langit tak peduli akan rasa sakit itu. Rasa sakit di dadanya tak sebanding dengan rasa sakit hatinya kepada dirinya sendiri yang merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik bagi Bumi.

Langit ingin Bumi kembali seperti dulu. Menjadi seorang anak yang baik dan tentu saja sayang kepadanya. Tidak brutal seperti saat ini. Rasa bersalah menyelimuti hatinya seketika. Pikirnya, ia adalah penyebab adiknya menjadi seperti ini. Kejadian kemarin membuatnya semakin dilanda putus asa. Harus bagaimana lagi untuk membuat pintu hati Bumi tersentuh? Sampai kapan ia dan Bumi akan terus berhubungan buruk seperti ini?

Sepasang mata Langit berkaca-kaca. Ia kesal. Kesal kepada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu lemah? Saking lemahnya, ia tak dapat menguatkan adiknya yang memiliki perasaan rapuh dan rentan digerogoti kebencian. Haruskah ia menghilang? Barangkali jika ia menghilang, sepasang mata Bumi akan terbuka dan dendam kesumat yang menyelimutinya akan sirna.

Langit menghela napas. Ia campakkan obat yang digenggamnya lalu diinjak sampai hancur. Biarlah Langit tak mengkonsumsi obat pahit menyebalkan ini. Kalaupun ini jalan menuju kematiannya sendiri, Langit tak peduli. Lagipula apa gunanya ia terus menerus ada di dunia jika keadaannya sendiri sedemikian lemah?

"Kenapa obatnya dibuang, Kak?" pekik Ayu yang sengaja menyusul Langit.

Langit hanya menoleh sebentar. Kemudian berpaling lagi.

"Kakak ini kenapa? Kak, kalau Kakak buang obatnya, terus jantungnya kambuh lagi gimana? Kakak bisa ..."

"Mati?" potong Langit, "Memang itu yang kuharapkan, Yu! Aku muak terus menerus hidup seperti ini. Lagipula mati sekarang atau nanti, bagiku sama saja!"

"Kak Langit ini ngomong apa? Ayu ndak suka kalau Kak Langit jadi pesimis kaya gitu! Lagipula, Bumi masih butuh Kakak!" tegas Ayu. Ia sedih melihat keadaan Langit seperti ini.

"Bumi ndak pernah membutuhkanku! Lagipula keinginannya adalah aku menghilang dari kehidupannya! Dengan begitu, ia akan merasa bahagia! Selama ini aku yang udah membuatnya menderita, Yu!" jerit Langit kesal.

"Itu karena Bumi belum bisa melihat ketulusan Kak Langit!" bantah Ayu.

Langit menghela napas panjang.

"Aku akan berusaha membuka mata Bumi, Kak! Aku janji!" ucap Ayu sambil menepuk bahu Langit.

"Ndak usah!" tampik Langit, "Aku ndak pengen kamu ada masalah lagi sama Bumi. Lagipula aku ndak yakin kamu bisa merubah Bumi semudah itu sekalipun dia sangat mencintai kamu!"

Ayu terhenyak. Benar juga apa yang dikatakan Langit. Tak akan semudah itu mencairkan hati Bumi yang sudah beku seperti es. Jika Ayu memaksakan diri untuk berusaha menyadarkan Bumi, bisa-bisa ia yang akan kehilangan pemuda itu. Padahal Ayu tak ingin itu terjadi. Ia sangat mencintai Bumi. Namun ... ia juga tidak bisa melihat Langit putus asa seperti ini. Baginya, Langit sudah seperti kakaknya sendiri. Terlebih lagi ia tahu Langit adalah sosok lelaki yang sangat baik hingga tak pantas untuk disakiti.

Ya, meskipun Ayu sendiri merasa telah menyakiti hati kakak kelasnya itu secara tidak langsung.

"Tapi, Kak ... Ayu ndak bisa lihat Kak Langit sedih seperti ini. Bagaimanapun juga, Ayu sayang sama Kakak karena bagi Ayu Kak Langit sudah seperti kakak Ayu sendiri ..." ucap Ayu lirih namun cukup untuk mengejutkan Langit.

Langit & Bumi (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang