Telah terhidang beberapa macam masakan di meja berbentuk lingkaran yang dihiasi taplak berenda warna biru muda. Ada tumis kangkung udang dan chicken katsu. Dua makanan itu adalah makanan favorit Bumi. Mama memang sengaja membuat makanan yang disukai Bumi tak lain karena untuk menyambut putra bungsu setelah lama tak dijumpai.
Mama dan Papa telah stand by duduk manis di depan meja makan. Sambil menunggu kedatangan Langit dan Bumi, Papa membaca majalah bisnis kesukaannya dan Mama sibuk melihat-lihat online shop melalui smartphone. Sekitar lima belas menit mereka menunggu. Namun, Langit dan Bumi tak kunjung datang juga.
"Pa?" panggil Mama memecah kesunyian. "Mama merasa nyesel tidak merawat Bumi selama tujuh tahun ini. Papa tahu? Bumi tumbuh jadi pemuda yang gagah, Pa! Tubuhnya tinggi tegap. Ditambah lagi wajahnya tampan. Dia mirip sekali sama Papa waktu muda," kata Mama panjang lebar.
"Ya, kita harus berterima kasih sama Ibu. Ibu sudah merawat Bumi dengan begitu baik. Ah, Papa jadi penasaran melihatnya," ujar Papa.
"Ih, Papa. Pokoknya ntar Papa lihat saja. Papa pasti pangling."
Baru saja Mama selesai bicara, terdengar suara pintu depan dibuka. Tak lama kemudian, terdengar suara berat tawa dua orang cowok ABG.
"Pasti mereka sudah datang, " kata Mama bersemangat.
Tak lama kemudian, Langit dan Bumi muncul di ruang makan. Mereka tampak bahagia. Terlihat dari tawa berseri yang menghiasi wajah masing-masing. Papa yang menyadari kedatangan putra-putranya langsung melipat majalah dan menaruhnya di meja. Papa ingin tahu bagaimana keadaan putra bungsunya itu. Benar kata Mama. Bumi memang tumbuh tinggi tegap dan tampan. Ia tampak gagah seperti atlet olahraga. Bahkan Langit lebih kecil dari adiknya itu.
"Bumi?" Papa terperangah.
"Hai, Pa. Apa kabar?" tanya Bumi ramah sambil tersenyum.
"B, baik. Baik kok," Papa jadi gugup. "K,kamu sendiri bagaimana?"
"Sangat baik," jawab Bumi singkat.
Papa tersenyum, namun senyumnya kaku seperti magnet. Papa tak mengerti mengapa dirinya bisa jadi kikuk di hadapan putranya sendiri. Wibawa yang selama ini selalu terpancar di wajahnya kali ini tampak semakin meredup. Entah apa sebabnya. Bisa karena rasa berdosa yang selalu mengejar. Bisa juga karena rasa rindu Papa yang meluap namun terlalu gengsi untuk ditunjukkan. Entahlah.
Tanpa melihat hidangan di meja, Bumi langsung saja berjalan dengan tampang cuek menuju kamar yang terletak di lantai dua, dekat dengan kamar Langit. Saat Bumi hendak menaiki tangga, Mama buru-buru menahan.
"Makan dulu, Bumi. Mama sudah siapin makanan kesukaan kamu. Nih, lihat. Chicken Katsu! Waktu kecil kamu suka sekali makanan ini. Katamu jika makan ini serasa seperti orang Jepang yang sebenarnya," kata Mama panjang lebar sambil memasang senyum dengan berjuta harapan agar masakan ini dimakan oleh putra bungsunya.
Sementara mata Bumi melihat hidangan di meja, hatinya pun ikut terhenyak. Ternyata Mama masih ingat menu makanan yang jadi favorit Bumi. Tapi entah mengapa saat ini Bumi jadi tak berselera makan.
"Bumi belum lapar, Ma," jawab Bumi. Ia langkahkan lagi kakinya.
"Tunggu, Bumi!" sela Papa.
Kaki Bumi terhenti seketika.
"Duduk!" perintah Papa.
Bumi terpaksa nurut. Ia kembali turun dan melangkah menuju meja makan di mana ada Mama, Papa, dan Langit di situ. Bumi menarik salah satu kursi dan mendudukinya. Ia menatap mata Papa yang seolah menusuk. Entah Papa sedang menahan emosi atau apa.
"Kamu harus makan barang sedikit saja, Bumi. Hargailah mamamu. Dari tadi Mamamu begitu ngotot masak ini semua hanya untuk menyenangkan kamu.
"Oh," respon Bumi cuek.
"Dan ada yang ingin Papa tanyakan ke kamu. Bagaimana kabar Nenek di Bandung, Bumi?"
Bumi terhenyak. Matanya terbelalak sesaat. Lalu, ekspresi wajah Bumi mendadak menjadi sedih. Bibirnya bergetar. Sepasang matanya berkaca-kaca.
"Nenek sudah meninggal tiga bulan yang lalu, Pa," jawab Bumi datar.
Tangan Bumi terkepal menahan amarah. Rona mukanya memerah.
"Bumi sudah berusaha menghubungi nomor-nomor yang dulu kalian tinggalkan, tapi tak ada satupun yang bisa dihubungi. Bahkan saat Nenek sakit keras pun, Om Yana datang ke rumah ini, tapi nggak ada orang," intonasi Bumi terdengar begitu lancar.
Papa mengelus dada karena shock. Rasa menyesal menyelimutinya seketika. Selama ini ia begitu sibuk menjelajah daerah demi daerah bahkan melintasi negara lain demi mencari pengobatan Langit. Keluarga besarnya di Bandung, bahkan putra bungsunya sendiri seolah hilang dalam hati. Semua itu karena kekalutan, bingung, depresi, dan berbagai kecamuk perasaan yang seolah membuat Papa gila.
Sementara Bumi tak sanggup lagi menahan emosi yang melejit keluar.
"Jangan ngelus dada doang, Pa! Papa sebagai anak harusnya selalu update dengan keadaan orang tua. Lagipula apa pernah Papa menghubungi Nenek? Selama tujuh tahun ini pernah nengokin Nenek? Kayaknya Bumi nggak ngeliat tuh, Pa!" ucap Bumi sinis.
Kepala Papa tertunduk. Tiada satu kalimat pun yang terucap di bibirnya. Ia sendiri merasa takut menatap mata putra bungsunya.
Bumi bangkit dari duduknya dan langsung berlari menuju kamar, tak peduli dengan panggilan mamanya. Tak ada gunanya Bumi berbaur dengan mereka. Toh, itu hanya akan membuat perasaannya menjadi lebih sakit lagi dari sebelumnya. Ia kunci pintu kamar rapat-rapat dari dalam. Ia merasa muak. Sangat muak.
Ya ampun, ternyata udah lebih dari sepuluh hari dan baru bisa posting. :D Tapi nggak papa deh, yang penting bisa menghibur kakak-kakak pembaca meski sedikit. :D Please, kritik dan sarannya. Kalau suka, kasih bintangnya, ya? Sampai jumpa di kelanjutan kisah Langit dan Bumi. :D
![](https://img.wattpad.com/cover/87271261-288-k26920.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bumi (REVISI)
RomanceLangit: Andai setiap manusia dapat memilih takdir hidup sebelum dilahirkan, pasti aku akan memilih menjadi manusia yang sehat seperti Bumi. Namun, takdirku telah tergaris menyedihkan. Aku selalu terbayang oleh kematian setiap waktu. Bumi : Apa salah...