Peristiwa tak terduga di hari ulang tahun Bumi cukup membuat Langit shock. Hingga saat ini di sekolah, shock Langit masih belum juga mau pergi. Berbeda dari hari-hari sebelumnya, ia jadi semakin pendiam. Tatapannya makin tampak sedih. Wajahnya pucat dan bawah matanya cekung seolah ia kurang tidur semalam. Bagaimana bisa tidur? Bumi baru pulang tengah malam. Tubuhnya basah kuyup. Entah sudah berapa lama adiknya itu diguyur hujan
Bahkan hari ini Bumi tak masuk sekolah. Pemuda bermata indah itu masih asyik mengurung diri di kamar. Baik Papa, Mama, maupun Langit tak ada yang berani mengusiknya karena takut mengamuk lagi.
Langit menghela napas. Ia bingung. Mengapa situasi jadi serunyam ini?
"Kamu opo'o maneh, Lang?" tanya Albert seolah memiliki ikatan batin atas kegundahan sahabatnya itu.
"Aku ndak kenapa-kenapa, kok," jawab Langit berbohong.
"Bohong. Kami udah lama jadi sahabat kamu, Lang. Otomatis kami tahu sedikit saja kesedihan tampak di wajah kamu," ucap Leo sambil menepuk bahu Langit.
Langit tersenyum kecut.
"Biar kutebak. Pasti karena Bumi?" ujar Albert.
"Bukan ...."
"Lantas?" kejar Albert.
"Sudahlah!" tampik Langit, "Aku sedang pusing! Jangan memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan terus!" tegasnya.
Leo dan Albert saling berpandangan. Tak biasanya ia melihat Langit seperti itu. Tidak. Bukan mereka kecewa atas sikap Langit yang mendadak kasar. Mereka cukup mengerti kalau Langit tak mungkin berlaku seperti ini tanpa sebab. Langit kan bukan cewek yang bisa PMS setiap bulannya sehingga menjadi sangat sensitif. Mereka yakin, Langit pasti mengalami suatu masalah yang cukup berat. Sumber masalah itu siapa lagi kalau bukan Bumi.
Sebenarnya Leo dan Albert merasa sangat jengkel kepada adik sahabatnya yang menyebalkan itu. Haruskah ia terus-terusan menjadi beban pikiran Langit? Buat apa dia kembali ke Surabaya kalau hanya akan membuat orang lain susah? Sebenarnya ingin sekali mereka mengatakan hal itu kepada Bumi. Mereka tak tahan melihat Langit terus-terusan tertekan seperti ini.
"Lang, menurutku kamu lupakan dulu masalahmu itu. Bukankah sebentar lagi kamu dan anggota OSIS lainnya akan sibuk menyiapkan acara ulang tahun sekolah buat bulan depan? Belum lagi pergantian jabatan itu. Di bulan terakhir kamu menjadi ketua OSIS, harusnya kamu lakukan kegiatan positif. Jangan malah galau seperti ini. Jelek tahu!" omel Leo panjang lebar. Leo memang terkenal keras kepada sahabat-sahabatnya. Namun kekerasan nasehatnya itu pasti bernilai positif.
"Aku tahu kok, Leo sayang ...!" ujar Langit lalu tersenyum kecut.
"Ndak pakai sayang kali. Aku bukan cowok maho!" protes Leo.
Langit dan Albert tertawa cekikikan.
"Ya abisan. Gayamu udah kaya mbah-mbah aja. Lagian kamu sendiri juga tukang galau gara-gara ndak juga dapet pacar," cibir Albert. Lagi-lagi ia tertawa cekikikan.
Melihat kekonyolan dua sahabatnya itu, kesedihan Langit jadi sedikit mereda. Namun ia menyetujui perkataan Leo tadi. Bulan ini adalah bulan terakhir jabatannya sebagai ketua OSIS sebelum akhirnya diserahkan kepada adik kelas yang menjadi kandidat. Sudah jadi kewajibannya untuk menunaikan tugasnya tanpa cacat sedikitpun. Ia juga ingin meninggalkan kesan sebagai ketua OSIS yang baik dan patut dijadikan panutan bagi adik-adik kelasnya.
Namun, mengapa Langit mendadak merasakan suatu firasat buruk? Sebuah firasat yang mengatakan bahwa ia tak akan dapat melihat moment yang belum tentu akan ia alami setelah mengakhiri masa SMA nya.
Apakah itu adalah bayangan kematian?
Tidak! Langit membunuh dugaannya sendiri. Tak seharusnya ia berpikiran jelek. Ia yakin, Tuhan akan berbaik hati memberikan kesempatan untuk menikmati keindahan dunia lebih lama lagi. Namun, kalaupun hal mengerikan itu akan benar-benar terjadi padanya, ia ikhlas. Asalkan ia dapat menunaikan satu tugas yang dianggap hutang. Tugasnya sebagai kakak untuk membuat adiknya bahagia.
Langit menatap sendu cakrawala yang tampak cerah dengan awan berarak-arak bagai lautan kapas. Hatinya terasa sangat damai saat melihat awan itu. Andai saja ia berbaur dengan langit yang secerah ini, pastilah ia temukan ketenangan di sana. Sebuah ketenangan abadi tanpa ada bayangan malaikat maut yang menerornya setiap waktu.
"Kak Langit!" suara lengkingan Ayu yang mendadak membuyarkan imajinasi Langit seketika. Ia menoleh. Tampak Ayu berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya. Wajah Ayu tampak panik.
"Astaga Ayu ...! Kamu jangan suka ngagetin orang seperti itu, dong! Kamu kan tahu kalau aku paling ndak bisa dikagetin!" semprot Langit kesal. Ia pegang dadanya. Dirasakannya suara debaran jantung yang berdetak lebih cepat.
"Tau, nih! Jangankan kamu, Lang. Aku saja sampai kaget. Lagipula kamu ngapain ke sini, Yu? Nekat banget ke tempat kelas dua belas sendirian! Gak takut dipalak, kamu?" omel Albert yang ikut-ikutan mengelus dada.
Ayu manyun, "Jahat banget, sih! Emangnya kelas dua belas itu tempat gembong preman? Pakai ada acara palak-palakan segala. Lupa, ya, kalau aku ketua ekstra karate?" kata Ayu panjang lebar sambil menatap sebal mata Albert.
"Sudah, sudah," Leo berusaha menjadi penengah yang baik, "Jadi, apa maksud dan tujuanmu datang ke sini, Yu?"
"Mau ketemu Kak Langit. Mau tanya, kenapa Bumi ndak masuk? Soalnya tadi guru piket nyariin," terang Ayu.
"Jah, nyari Bumi di sini. Mana ada, Yu? Lagian ndak coba kamu sms?" tanya Albert.
"Ndak dibales. Kutelpon juga ndak diangkat."
"Memangnya adik kamu kemana, Lang?" tanya Leo penasaran.
"Di rumah. Kayanya sakit. Soalnya semalem dia keujanan," jawab Langit lirih, "Eh, aku ke toilet dulu," ucapnya. Tanpa menunggu respon teman-temannya, Langit langsung saja berlari. Ia pegangi dadanya. Irama larinya pun tak beraturan. Berkali-kali tangannya menggapai apapun yang berada di dekatnya.
Ayu menyadari kejanggalan sikap Langit itu.
"Kak, aku nyusul Kak Langit, ya?" pamit Ayu lalu beranjak berusaha menyusul Langit yang sudah tak tampak lagi tubuhnya.
"Ngapain? Mau modus di toilet?" ujar Leo.
"Bukan. Udahlah! Jangan mikir macem-macem! Ayu pergi dulu. Daaaah ...!" Ayu melambaikan tangan tanpa menoleh.
Leo dan Albert hanya bisa mengangkat bahu. Heran.
Kamu kenapa lagi, Lang?
Pra Mens Syndrom
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bumi (REVISI)
RomanceLangit: Andai setiap manusia dapat memilih takdir hidup sebelum dilahirkan, pasti aku akan memilih menjadi manusia yang sehat seperti Bumi. Namun, takdirku telah tergaris menyedihkan. Aku selalu terbayang oleh kematian setiap waktu. Bumi : Apa salah...