Perlahan mata Langit terbuka. Berat rasanya. Ia berusaha mengkoneksikan diri. Ruangan ini berwarna putih, mirip klinik kesehatan. Di ruangan itu ada tiga buah tempat tidur yang bernuansa putih juga tercium bau obat. Terdengar juga riuh canda tawa dari luar. Jika ini rumah sakit, tak mungkin suasananya seramai ini. Lalu, kepalanya menoleh menatap sosok cewek dengan rambut penjang terurai yang duduk di samping tempatnya terbaring. Sejuta kegelisahan menghiasi wajahnya. Cewek itu adalah Ayu. Ia edarkan pandangan lagi. Ada juga Dani dan Fian yang duduk cemas di kursi lain.
"Yu?" ujar Langit pelan mengejutkan Ayu. Tak hanya Ayu, Dani dan Fian pun juga terkejut saat mendengar suara Langit yang bergetar dan terdengar lemah. Rona kegembiraan langsung terukir di wajah Dani dan Fian.
"Langit, kamu udah bangun? Astaga. Kami tadi takut banget," ujar Dani.
"Apa yang terjadi?" tanya Langit. Seingatnya ia sedang berada di pinggir lapangan basket menyaksikan Bumi nembak Ayu.
"Tadi kamu mendadak pingsan," kali ini Fian yang bersuara, "Lang, kalau kamu masih sakit, harusnya tadi kamu jangan berangkat ke sekolah dulu. Kata Bumi, kamu harusnya di rumah. Istirahat."
Langit tak menjawab. Ia malah memandang wajah Ayu yang sedari tadi menunduk. Ia tatap lekat wajah itu. Wajah yang sangat manis. Namun, Langit tak mungkin lagi berharap memiliki Ayu sekalipun ia sangat mencintai gadis itu. Langit sadar, Ayu hanya mencintai Bumi. Bukan dirinya.
"Fian, Dani, bisa tinggalin aku sama Ayu berdua di sini?" pinta Langit.
Kedua sahabatnya tak menyahut. Mereka mengerti apa maksud Langit. Tanpa basa-basi lagi mereka keluar dari UKS meninggalkan Langit dan Ayu di dalamnya.
"Kakak mau ngomong apa?" tanya Ayu gusar.
Langit tersenyum.
"Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Yu," kata Langit pelan.
Hati Ayu serasa ditusuk mendengarnya. Ia tahu, Langit hendak mengatakan sesuatu yang menyangkut tentang perasaan cinta. Sebenarnya Ayu tak ingin mendengarnya. Ia takut. Takut membuat suasana semakin gawat. Lagipula ia tak yakin apa Langit bisa menerima dengan ikhlas seandainya dirinya ternyata benar-benar jadian dengan Bumi.
Dalam hati Ayu berdoa semoga Langit tidak menyatakan cinta juga seperti yang dilakukan Bumi pagi tadi.
"Apa kamu mencintai adikku?" tanya Langit.
"Memangnya kenapa, Kak?" tanya Ayu balik.
Langit menghela napas. Berat sebenarnya mengatakan ini. Namun apa boleh buat? Langit tak ingin tersiksa oleh perasaan seperti ini terus selamanya. Biarlah ia ungkapkan apa yang selama ini ia pendam. Cukup Ayu tahu saja jika Langit sangat mencintainya. Langit tak akan memintanya untuk menjadi kekasih. Langit tak ingin menjadi perusak kebahagiaan Bumi dan Ayu.
"Aku mencintaimu, Ayu. Aku tahu sebenarnya kamu pun sudah mengetahui apa yang aku rasakan kepadamu. Terus terang, aku merasa patah hati sebab cewek yang aku cintai malah jatuh cinta sama adikku," kata Langit.
"Maafin Ayu, Kak,"ucap Ayu penuh sesal. Sebutir bening luruh dari sepasang mata indahnya. Langit menyeka air mata itu.
"Aku tidak akan menembakmu, Yu. Kamu tahu kenapa? Aku tidak boleh egois atas perasaanku sendiri. Aku tahu, kamu dan Bumi saling mencintai. Aku ikut bahagia,"
"Lantas, kenapa Kakak tadi ..."
"Kondisiku memang kurang bagus beberapa hari ini," potong Langit cepat, "Jadi ini bukan karena aku shock melihat drama percintaaanmu sama Bumi tadi."
Ayu tersenyum tipis, "Kirain."
"Yu, aku titip Bumi. Kalau sama kamu, mungkin Bumi bisa jauh lebih baik. Apalagi Bumi lebih terbuka sama kamu dibanding sama aku, kakak kandungnya sendiri. Aku pun yakin kalau kamu sudah tahu masalah di antara kami."
Bibir Ayu terkunci. Hanya isyarat matanya saja yang seolah menanggapi ucapan Langit.
"Aku mencintai Bumi, Kak," sebuah kalimat berhasil meluncur dari bibir Ayu meskipun suaranya bergetar hebat.
Mendengar itu, Langit tersenyum. Sebuah kelegaan menyergap hatinya. Sakit hati? Tentu saja hal itu masih ia rasakan meski cuma sedikit. Namun di sisi lain ia juga merasa sangat bahagia. Baginya Ayu adalah cewek yang sangat tepat untuk Bumi. Bagaimanapun juga Langit yang mengenal Ayu cukup lama tahu betul bagaimana watak dan sifat gadis itu. Ayu adalah gadis yang sangat baik dan Langit yakin Ayu bisa merubah perangai Bumi yang sangat kasar.
"Aku sudah tahu, Yu. Sedih juga sih rasanya. Tapi aku ndak masalah kok. Tadi kamu sudah kasih jawaban buat Bumi belum?" tanya Langit.
Ayu menggeleng.
"Kalau begitu, cepat kamu jawab ke Bumi. Tu anak paling ndak bisa kalau disuruh sabar nunggu soalnya. Lebih baik sekarang kamu temui Bumi sebelum terlambat," ujar Langit sambil tersenyum menampakkan sederetan gigi rapinya.
Senyum Ayu ikut mengembang. Wajahnya kembali ceria. "Kalau begitu aku ke Bumi dulu. Makasih restunya, Kak," kata Ayu dengan wajah sumringah. Ia buru-buru keluar UKS dan mencari Bumi. Langit memandang punggung Ayu dengan tatapan nanar. Ia yakin. Ini adalah keputusan yang paling tepat sekalipun harus mengorbankan hatinya sendiri. Lagipula, ia tak pantas untuk Ayu. Kondisinya terlalu lemah, jadi mana mungkin dia bisa menjaga dan melindungi Ayu? Lain halnya dengan Bumi yang sangat sehat dan kuat. Langit masih cukup tahu diri soal itu.
Dani dan Fian menghampiri Langit begitu mereka melihat Ayu keluar ruangan. Mereka tak sengaja mendengar percakapan antara Langit dan Ayu. Mereka mengerti betul bagaimana perasaan Langit terhadap Ayu. Cinta. Cinta yang begitu besar. Namun sayangnya, cinta Langit bertepuk sebelah tangan. Mereka sebenarnya juga merasa jengkel dengan Ayu. Betapa Ayu buta tak memandang laki-laki yang mencintainya teramat dalam dan hanya bertahan pada perasaan tanpa kejelasan hubungan dengan waktu begitu lamanya. Seharusnya Ayu bersama Langit, bukan malah dengan Bumi yang beru saja dikenalnya itu.
Tapi perasaan memang tak bisa ditebak. Tak ada yang salah pada sebuah perasaan. Termasuk perasaan Ayu pada Bumi itu juga bukan merupakan suatu kesalahan.
Wajah Langit begitu sendu. Kesedihan yang teramat dalam tengah menekannya. Ingin sekali ia menangis meraung sambil memeluk Dani dan Fian. Namun tak mungkin Langit melakukan itu. Ia tak ingin membebani dua sahabatnya itu. Mereka sudah terlalu baik dan terlalu sering mendengar keluh kesahnya. Ia tak ingin jadi orang yang merepotkan. Ya, seperti kata-kata Bumi beberapa waktu lalu yang terang-terangan mengatakan bahwa Langit adalah orang yang hidupnya terus-terusan membuat susah orang lain.
"Kamu baik-baik saja, Lang?" tanya Dani.
Langit mengangguk lesu.
"Aku mundur. Lagipula ndak gunanya lagi terus-terusan mencintai Ayu sementara dia sama sekali ndak ada rasa cinta sama aku. Dia mencintai Bumi. Bukan aku."
"Hm, kenapa kamu tadi ndak sekalian nembak Ayu? Kali saja Ayu bakal milih kamu. Bukan Bumi," tukas Dani dengan memperbesar volume suaranya. Ia merasa gemas dengan Langit yang begitu cepat berputus asa.
"Kalau Bumi adalah orang lain, sudah kulakukan itu dari awal, Dan. Masalahnya Bumi itu adikku sendiri. Kamu pikir aku mau saingan sama adikku? Aku ndak bisa lakuin itu!"
"Terus kamu bakal diem aja? Lihat perlakuan dia ke kamu, Lang!" tukas Dani.
"Aku ndak peduli. Seburuk apapun sikapnya padaku, dia tetaplah adikku. Biar saja aku terluka, yang penting Bumi bisa hidup bahagia. dengan cara ini aku bisa menebus semua kesalahanku pada Bumi. Gara-gara aku, selama ini Bumi hidup dalam penderitaan. Tolong ngertiin aku, Dan, Fian," tegas Langit panjang lebar.
Mendengar pernyataan Langit barusan, Dani dan Fian hanya bisa bungkam. Mereka tak tahu harus berbuat apa lagi. Bagi Dani dan Fian, Bumi sudah benar-benar keterlaluan. Entah terbuat dari apa hati adik sahabat mereka itu. Ingin sekali mereka menampar keras pipi Bumi. Namun mereka sadar. Jika itu mereka lakukan, suasana akan semakin runyam.
Terima kasih buat yang baca sampai part ini. :D Sampai jumpa di part selanjutnya. :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bumi (REVISI)
RomanceLangit: Andai setiap manusia dapat memilih takdir hidup sebelum dilahirkan, pasti aku akan memilih menjadi manusia yang sehat seperti Bumi. Namun, takdirku telah tergaris menyedihkan. Aku selalu terbayang oleh kematian setiap waktu. Bumi : Apa salah...