Kondisi Bumi tak juga membaik. Ia juga tak menunjukkan reaksi apapun. Sama seperti Langit, di ruangan Bumi hanya terdengar suara mesin-mesin yang menunjang hidup pemuda itu. Di sisi Bumi yang tertidur lelap dengan luka yang tertutupi perban, Ayu dengan setia menemani. Ia genggam jari-jemari Bumi. Ayu menatap wajah kekasihnya yang lelap dalam tidur dengan tatapan berkaca-kaca. Entah sudah berapa kali dalam sehari ini Ayu menangis.
Pintu ruangan terbuka pelan. Tak lama kemudian, Mama dan Papa serta Dokter Aswin muncul dari balik pintu. Wajah ketiganya tampak serius.
"Kak Langit sama siapa?" tanya Ayu lirih.
"Ada Leo dan Albert yang menemani," jawab Mama. Suaranya terdengar berat. Mungkin kondisi kesehatan Mama menurun. Jelas saja, musibah ini membuat pikiran demi pikiran bertumpuk menjadi satu dalam kepalanya. Pikiran yang membuat stres.
"Ayu, Dokter mau memeriksa keadaan Bumi. Bisa tolong beri sedikit ruang?" pinta Papa.
"Oh, iya. Silahkan ..." ucap Ayu sambil memasang senyum tipis. Tidak rela rasanya berjauhan dengan Bumi walau sekejap. Tapi Ayu cukup tahu diri. Ia pun keluar ruangan agar tak mengganggu konsentrasi
Bumi ... aku kangen kamu. Bangunlah. Aku ingin melihatmu tertawa seperti biasanya. Aku rindu dengan kata-kata nyelekitmu ...
Ayu menyeka air mata yang meluncur di pipi. Saat melihat keadaan Bumi saat ini, rasanya sulit dipercaya ini semua akan terjadi di waktu hubungan mereka yang masih dalam hitungan Minggu. Ayu merenung. Pikirannya terbang ke beberapa waktu lalu saat pertama kali Bumi memasuki kelas XI BAHASA. Ia ingat betul pesona Bumi yang menyihir mata dan perasaannya. Jika mengingat masa itu, rasanya sulit dipercaya Bumi justru menjadi pacar pertama dalam sejarah hidup Ayu.
Namun, kondisi Bumi yang kritis membuat Ayu merasa takut akan kehilangan cowok yang sangat dicintainya itu. Hm, andaikan saja saat ini ada Langit, mungkin Ayu bisa berkeluh kesah menumpahkan kesedihannya itu. Tapi masalahnya keadaan Langit pun sama. Ia tertidur lelap dalam status koma akibat penyakit jantung yang dideritanya itu. Ah, Ayu tak habis pikir. Mengapa musibah ini harus terjadi bersamaan dalam kehidupan kakak beradik itu? Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang tua Langit dan Bumi atas kejadian ini.
Ayu menghela napas. Ia pikir, tak ada salahnya menjenguk Langit sambil menunggu dokter selesai memeriksa keadaan Bumi. Lagipula, ruangan tempat Langit dirawat berada tak jauh dari tempat ini.
Ia beranjak, berjalan menelusuri koridor rumah sakit yang dihiasi warna serba putih. Ia melewati ruangan-ruangan yang dihuni oleh pesakitan. Ayu merasa sangat beruntung sebab dikaruniai tubuh yang sehat. Di suatu ruangan, ia melihat seorang pesakitan pria bertubuh kurus yang tengah ditangisi keluarganya. Tubuhnya yang terbujur kaku dihiasi banyak luka yang masih menyisakan darah segar. Tak lama kemudian, tampak suster melucuti alat-alat yang tertancap pada orang yang terbaring itu lalu ditutuypnya sekujur tubuh dengan selimut. Tangisan terdengar semakin kencang membuat perih hati Ayu yang tak sengaja mendengarnya.
Ayu jadi teringat Bumi. Dalam hati ia berdoa agar tak terjadi apa-apa dengan Bumi. Bumi pasti baik-baik saja.
Akhirnya, sampai juga Ayu di depan sebuah ruangan tempat Langit dirawat. Dari kaca bening yang terpasang di pintu, Ayu bisa melihat Leo dan Albert yang asyik berceloteh sendiri di dalam ruangan.
Begitu pintu ruangan dibuka, suara mesin penunjang hidup Langit langsung terdengar. Ayu terkesiap, begitu juga dengan Leo dan Albert yang merasa surprise dengan kedatangan Ayu.
"Ayu, syukurlah kamu ke sini," ucap Leo, lalu memasang senyum lebar.
"Gimana keadaan Kak Langit? Ada kemajuan?" tanya Ayu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bumi (REVISI)
RomanceLangit: Andai setiap manusia dapat memilih takdir hidup sebelum dilahirkan, pasti aku akan memilih menjadi manusia yang sehat seperti Bumi. Namun, takdirku telah tergaris menyedihkan. Aku selalu terbayang oleh kematian setiap waktu. Bumi : Apa salah...