PRANG ...!
"Panas!" pekik Papa tatkala cangkir berisi kopi panas yang ia bawa mendadak pecah. Percikan air kopi panas mengenai tangan dan bajunya. Papa merasa heran. Aneh sekali cangkir ini mendadak pecah tanpa sebab yang jelas.
"Kenapa, Om?" tanya Albert yang duduk di depan Papa. Di samping Albert, terdapat Leo yang juga asyik duduk manis sambil menikmati segelas susu jahe hangat.
"Ndak tahu. Tiba-tiba pecah begini," jawab Papa sambil membersihkan noda kopi yang menempel di bajunya.
Kantin rumah sakit tampak sepi. Hanya ada Papa, Leo, dan Albert yang hendak menikmati makan malam . Ya, hanya mereka bertiga. Mama tidak ikut makan padahal dari kemarin perutnya belum juga terisi. Mama juga tetap bersikeras tak mau beranjak dari samping Langit padahal kondisi putranya itu sudah cukup stabil dan tak lagi kejang-kejang seperti tadi. Namun, ia tetap setia menunggu putra sulungnya bangun.
Papa menatap pecahan gelas itu. Perasaannya mendadak terusik seolah ingin menyampaikan sesuatu.
"Kenapa perasaanku jadi ndak enak begini?" gumam Papa.
Namun, Papa segera menepis dugaan-dugaan negatif yang hendak menyusup di otak. Langit pasti baik-baik saja. Kalaupun terjadi sesuatu dengan Langit, Mama akan langsung menghubungi Papa.
Justru saat ini Papa begitu mengkhawatirkan Bumi. Tak seperti biasanya Bumi belum juga datang setelah tadi ditelepon oleh Mama. Berkali-kali Papa mencoba menghubungi putra bungsunya itu, namun tak ada yang mengangkat. Bahkan Papa sampai minta tolong Leo dan Albert agar menghubungi Ayu dan menanyakan Bumi kini sedang bersamanya atau tidak. Jelas saja Ayu menjawab tidak karena pada nyatanya ia kini sedang tidak bersama Bumi.
Jangan-jangan Bumi kabur?
Tidak. Tidak mungkin. Papa yakin, sebadung apapun putra bungsunya itu, ia tak akan melakukan hal konyol itu di saat darurat seperti ini. Lagipula Bumi sudah berubah. Perangainya tak lagi buruk seperti sebelumnya. Ia jadi lebih lembut. Setiap hari ia juga menemani Langit dan mensupport kakaknya itu dengan cerita-ceritanya. Lagi, Bumi tak lagi memanggil kakaknya dengan sebutan Langit. Kini ia memanggil Langit dengan sebutan Kakak, seperti yang ia lakukan saat kecil dulu.
Papa merasa sangat bahagia atas perubahan Bumi kini. Namun ....
Drrrrrrt ...! Drrrrrt ...!
HP yang ada dalam saku celana Papa bergetar. Seketika Papa tersentak kaget. Firasat buruk yang sempat ia rasakan tadi terulang kembali saat ini. Ditatapnya layar HP ysng lebar itu. Rupanya sebuah panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal. Langsung saja Papa menekan tombol hijau di pojok kiri.
"Halo?"
"Halo, selamat malam. Apa betul ini dengan orang tua Bumi Aldian?" tanya penelepon di ujung sana.
"Benar, saya Papanya. Ada apa, Pak?" tanya Papa balik dengan nada ragu.
"Kami dari pihak kepolisian. Kami mau mengabarkan bahwa putra bapak mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di ruang gawat darurat rumah sakit Dr. Soetomo," jelas penelepon yang ternyata merupakan pihak kepolisian yang mengusut kecelakaan Bumi sore tadi tanpa basa-basi.
Papa terdiam sejenak. Pikirannya sibuk mencerna perkataan pria yang meneleponnya.
"Bapak jangan bercanda! Tadi saya masih menelepon anak saya dan dia baik-baik saja!" emosi Papa mulai tersulut.
"Tenang, Pak. Kami mengetahui identitas putra Bapak dari kartu pelajar yang ia bawa. Kami juga mendapati nomor Bapak dari handphone yang ia bawa. Dari seragamnya juga kami tahu bahwa ia siswa SMA Bintang Surabaya. Putra Bapak adalah siswa di sekolah itu kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bumi (REVISI)
RomanceLangit: Andai setiap manusia dapat memilih takdir hidup sebelum dilahirkan, pasti aku akan memilih menjadi manusia yang sehat seperti Bumi. Namun, takdirku telah tergaris menyedihkan. Aku selalu terbayang oleh kematian setiap waktu. Bumi : Apa salah...