Bukan lagi hajaran gagang sapu yang diterima Bumi, melainkan sebuah bogem mentah yang mendarat di pipinya langsung dari tangan Papa yang sedang berada di puncak kemarahan.
"Kamu mau membunuh kakakmu? Hah? Anak kurang ajar!" Papa tak bisa mengontrol emosinya.
Bumi tak menjawab apapun. Ia hanya bisa menundukkan kepala. Ia tak membantah karena pada kenyataannya memang bersalah. Ia telah membuat Langit celaka. Ia telah ... ah, Bumi merasa dirinya benar-benar bodoh hari ini. Harusnya tadi ia tidak mendahulukan emosi yang membludak. Harusnya tadi ia bisa mengontrol diri!
"Aku minta maaf, Pa," ucap Bumi serak, "Bumi benar-benar ndak sengaja."
Tangan Papa yang terkepal sudah siap untuk meninju wajah Bumi lagi. Namun, Papa berusaha menahannya.
"Kalau sampai terjadi apa-apa sama Langit, awas kamu!" ancam Papa.
Bumi semakin mengkerut. Ia tak berani menatap Papa.
Pintu kamar tempat Langit dirawat terbuka. Mama, Papa, dan Bumi terkesiap saat melihat Dokter Aswin keluar dari ruangan itu.
"Bagaimana keadaan Langit, Dokter?" tanya Mama cemas.
"Dia sudah sadar. Ibu jangan khawatir," jawab Dokter Aswin sambil mengumbar senyum.
"Apa dia sudah bisa ditemui?" tanya Papa.
Dokter Aswin mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi, Mama, Papa, dan Bumi menghambur ke dalam ruangan tempat Langit tergolek lemah.
"Langit!" Mama langsung memeluk tubuh Langit. Bulir-bulir bening keluar dari sepasang matanya yang indah.
Langit tersenyum, "Mama jangan nangis. Langit sudah nggak apa-apa kok," ujarnya untuk menenangkan Mama.
Bumi berjalan mendekati Langit. Ia raih jemari kakaknya itu dan digenggamnya erat.
"Langit, maafin aku," ujar Bumi penuh sesal.
"Tidak apa-apa, Bumi. Aku tahu kamu ndak sengaja," jawab Langit. Senyumnya mengembang.
Langit mengubah posisinya dari tidur menjadi duduk. Lalu, ia dan Bumi berpelukan.
Mama dan Papa saling berpandangan. Keduanya tersenyum.
Mendadak pintu kamar terbuka. Dokter Aswin telah kembali dengan membawa sebuah map kertas berwarna coklat. Wajahnya tampak serius dengan senyuman kaku yang terkesan dipaksakan. Ia hampiri Mama dan Papa.
"Maaf Pak Sandi, Bu Nisa, bisa ikut saya sebentar?" pinta Dokter Aswin.
"Iya, Dok!" jawab Papa antusias. Mendadak ia merasakan suatu firasat buruk.
Mama, Papa, dan Dokter Aswin keluar ruangan meninggalkan Langit dan Bumi berdua.
Lalu keduanya saling bertatap muka. Mata mereka saling beradu ketajaman. Bibir keduanya terkunci. Hanya sepasang mata yang saling berdialog. Yang tampak kini adalah mata Bumi yang memerah berkaca-kaca saat menatap mata kakaknya yang tampak layu. Entah mengapa sesak memenuhi dada Bumi. Ia tak sanggup melihat kakaknya dalam keadaan seperti itu sekalipun ia sangat membenci kakaknya.
"Kamu harus sembuh, Langit. Aku benci melihatmu tak berdaya seperti ini," ucap Bumi dengan bibir yang bergetar.
Langit meraih tangan Bumi dan menggenggamnya erat.
"Kau tahu, Bumi? Aku akan merasa sangat berharga atas hidup ini apabila aku telah membuatmu bahagia. Biarpun harus kehilangan nyawa, asal kamu bahagia, aku ikhlas. Itulah gunanya seorang kakak," kata Langit panjang lebar.
"Maksudnya?" Bumi tak mengerti.
"Kelak kau akan tahu sendiri jawabannya," Langit tersenyum tipis.
Bibir Bumi kembali terkunci.
Sementara itu, di ruangan Dokter Aswin, terjadi pembicaraan yang sangat serius. Mata Mama yang baru saja reda tangisnya kembali menitikkan air mata. Rona muka Papa pun memucat seperti kapas. Rupanya sebuah palu besar telah menggedor keras perasaan Mama dan Papa.
"Maksudnya apa, Dok? Nggak ada harapan? Dokter jangan bercanda!" Mama panik.
"Maaf, Bu. Tapi ini kenyataannya. Kami terpaksa menambah dosis obat anak Ibu."
"Tapi sampai kapan, Dok? Terlalu banyak obat juga tak baik bukan?" Papa jadi merasa serba salah.
"Sampai mukjizat dari Tuhan benar-benar turun. Sampai ada orang yang berhati malaikat dan mendonorkan jantungnya untuk Langit. Cuma itu satu-satunya cara untuk membuat Langit sembuh total," terang Dokter Aswin.
Papa menghela napas. Mencari malaikat yang bersedia mendonorkan jantung? Mungkinkah ada malaikat yang seperti itu?
Terima kasih sudah baca part ini. Mohon kritik dan sarannya, ya? ^_^ Kalau kurang berkenan, bisa protes ke saya kok. :p Hehehehe ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bumi (REVISI)
RomanceLangit: Andai setiap manusia dapat memilih takdir hidup sebelum dilahirkan, pasti aku akan memilih menjadi manusia yang sehat seperti Bumi. Namun, takdirku telah tergaris menyedihkan. Aku selalu terbayang oleh kematian setiap waktu. Bumi : Apa salah...