Rumah sakit ....
Langit telah dipindahkan di ruang rawat sejak sore tadi. Pak Anton, Leo, Albert, dan juga Ayu masih tetap setia menemani tak peduli dengan malam yang semakin larut maupun rasa lapar yang mulai mereka rasakan. Mama dan Papa telah tiba sejak lima belas menit lalu. Namun, Bumi masih juga belum tampak. Ia masih tak mau mengangkat telepon siapapun termasuk telepon dari Dokter Aswin sendiri. Rupanya Bumi benar-benar masih marah kepada kakaknya itu. Namun, entahlah. Tak ada yang tahu kecuali Bumi sendiri.
Tangis Mama pecah seketika saat Langit dinyatakan koma. Dipandangnya dengan tatapan nanar putra sulungnya yang kali ini tampak sangat menyedihkan. Di dada Langit tertancap berbagai slang yang dihubungkan dengan alat-alat yang mampu membuatnya bertahan hidup. Oh, ibu macam apa yang tidak miris ketika melihat anaknya tak berdaya seperti ini? Tentu saja perasaannya hancur. Luluh lantak hingga tak berbentuk lagi. Begitu juga dengan perasaan Papa. Ia benar-benar tak menyangka, putra sulungnya akan mengalami hal sedemikian mengerikannya. Koma, yang berarti berada antara hidup dan mati.
"Langit, bangunlah sayang .... Mama di sini," rintih Mama sambil membelai pelan kepala Langit yang entah saat ini sedang memimpikan apa.
Mama memang bersikeras untuk menemani Langit dalam ruang isolasi, tak peduli sekalipun dalam ruangan itu juga ada Dokter Aswin yang masih sibuk memeriksa kondisi Langit. Lain halnya dengan Papa yang memilih untuk di luar saja karena tak sanggup melihat kondisi Langit yang seolah tak lagi ada harapan. Kentara betul Papa berusaha menahan air mata yang nyaris keluar. Terlihat dari sepasang matanya yang tampak sayu dan berwarna kemerahan.
"Kenapa semua ini harus terjadi kepada anakku?" ujar Papa pelan. "Apa salah Langit hingga harus menderita seperti ini? Aku tahu betul, anakku adalah anak yang sangat baik. Ia tak pernah berbuat jahat pada siapapun. Tapi kenapa? Kenapa ia harus mengalami hal seperti ini? Kenapa Tuhan memberikannya penyakit yang menakutkan? Jantung! Kenapa ia harus menderita kelainan jantung?" kata Papa panjang lebar entah pada siapa.
Papa terkesiap begitu melihat pintu ruangan tempat Langit dirawat dibuka tiba-tiba. Lalu, muncul Dokter Aswin dengan ekspresi muka yang tegang. Ia hendak mengucapkan sesuatu, namun rasanya sulit. Apalagi ketika ia melihat Papa tengah memandangnya dengan penuh harap.
"Dokter?" rintih Papa. Suaranya serak karena menahan tangis.
Dokter Aswin menggelengkan kepalanya.
"Sudah tak ada lagi harapan, Pak. Putra Bapak koma. Kondisinya juga semakin menurun. Cuma mukjizat Allah saja yang bisa menyelamatkannya, selain donor jantung ..." ucap Dokter Aswin. Berat baginya mengatakan itu semua.
"Donor jantung?" Papa terpekik kaget.
"Ya, donor jantung. Cuma itu satu-satunya cara. Jantung Langit sudah sedemikian parah, tak bisa lagi disembuhkan. Lagipula ...," Dokter Aswin menarik napas panjang, "Kami sudah mencoba memberikan dia obat seperti biasanya, bahkan dosisnya juga ditambah. Tapi nihil. Sepertinya memang ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk bangun kembali," terangnya.
Lemas rasanya tubuh Papa. Rasanya mustahil ada orang seperti malaikat yang mau mendonorkan jantungnya untuk Langit.
"Berikan jantung saya saja, Dok!" celetuk Leo tiba-tiba, kemudian disambut oleh jitakan kepala Albert.
"Kamu gila, Yo? Kamu bisa mati tahu! Kalau ngomong dipikir dulu, kek!" protes Albert.
"Habisnya aku ndak bisa melihat Langit terus menerus menderita seperti ini! Aku matipun tak mengapa, yang penting sahabatku bisa sehat!" bantah Leo.
"Ndak waras kamu ini! Kamu masih punya orang tua! Pikirkan orang tuamu itu! Sudahkah kamu membahagiakan mereka? He?" kata-kata Albert langsung membuat Leo terdiam seketika.
Dokter Aswin geleng-geleng kepala.
"Terima kasih atas niat baikmu. Tapi kami tidak bisa melakukan donor jantung dari manusia yang sehat walafiat seperti kamu. Kami hanya akan mendonorkan jantung dari orang-orang sekarat yang kemungkinan bertahan hidup akan sulit. Misal korban kecelakaan," terang Dokter Aswin lagi. pernyataan Dokter Aswin semakin membuat Papa terpuruk karena itu artinya harapan mendapatkan donor jantung untuk Langit semakin menipis.
"Lantas, apa yang bisa kami lakukan, Dok?" tanya Papa pasrah.
"Berdoa. Minta sama Allah agar diberikan petunjuk," jawab Dokter Aswin singkat sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Papa yang masih bertahan pada kesedihannya.
Papa kembali tenggelam dalam lamunannya. Kepalanya tertunduk. Sebutir ... dua butir ... air mata mulai luruh berjatuhan membasahi celananya.
Pak Anton yang tak tega melihat Papa, menghampiri orang tua muridnya itu dan menepuk punggunggunya. Pak Anton berusaha membuat Papa lebih tegar.
"Yang sabar, Pak. Kita sama-sama mendoakan yang terbaik untuk Langit. Sekarang lebih baik kita panggil seseorang. Saya ingat betul, Langit menyebutkan nama orang itu sebelum kondisinya menurun seperti ini. Kita harus panggil dia secepatnya. Siapa tahu kehadirannya akan membuat kondisi Langit membaik," ucap Pak Anton panjang lebar.
"Siapa?" tanya Papa.
"Bumi ...," jawab Pak Anton singkat.
"Bumi?" ucap Papa lirih. Dahinya mengkerut.
"Ya. Nama itu yang tadi sempat Langit ucapkan. Nama Bumi ...,"
Papa menghela napas panjang. Rupanya ini akan menjadi hal yang sangat sulit. Maukah Bumi menemui kakaknya kini? Entahlah. Yang Papa tahu, saat ini Bumi masih mengurung diri di kamarnya. Papa sudah berusaha membujuknya keluar, namun tak dihiraukan oleh Bumi. Sempat Papa merasa khawatir terjadi apa-apa dengan putra bungsunya itu di dalam kamar. Namun, rasa khawatir Papa sedikit sirna ketika mendengar suara petikan gitar Bumi. Berarti Bumi baik-baik saja di dalam.
Hanya saja, Papa merasa tak yakin Bumi akan mendengarkannya sekalipun situasi sedang gawat seperti saat ini.
"Om, sebenarnya Bumi ada di mana sekarang? Apa benar Bumi sedang sakit dan sekarang dia berada di rumah?" tanya Ayu memastikan.
Papa mengangguk lemah.
"Bumi memang berada di rumah. Dari semalam dia mengurung diri di dalam kamar. Dia ndak mau keluar biar dibujuk dengan cara apapun," jawab Papa.
"Biar Ayu yang nyamperin dia, Om," tawar Ayu seolah dapat membaca kesulitan yang tengah dirasakan Papa.
"Kebetulan Ayu ini pacarnya Bumi. Kalau sama Ayu, mungkin Bumi mau dengar dan mau menemui Langit," timpal Leo.
Papa mengangguk setuju. Lidahnya terasa kelu sehingga sulit untuk mengeluarkan sepenggal kata, sekalipun hanya kata "Ya".
"Kalau begitu, biar aku saja yang mengantarmu, Yu. Kita bareng-banreng ngomong sama Bumi," tawar Leo.
"Iya, Kak. Ayo," ujar Ayu sambil mengangguk. Tanpa banyak cing-cong lagi, ditariknya tangan Leo dan diseret untuk segera meninggalkan ruangan itu dan menuju ke tempat Leo memarkir sepedanya.
Tinggallah Papa, Albert, dan Pak Anton yang tetap setia menunggu perkembangan Langit. Mama masih belum mau beranjak dari samping Langit yang tengah tertidur lelap. Sementara Dokter Aswin entah sedang sibuk apa di dalam ruangan pribadinya. Mungkin sedang mencari alternatif lain yang dapat menyelamatkan Langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bumi (REVISI)
RomanceLangit: Andai setiap manusia dapat memilih takdir hidup sebelum dilahirkan, pasti aku akan memilih menjadi manusia yang sehat seperti Bumi. Namun, takdirku telah tergaris menyedihkan. Aku selalu terbayang oleh kematian setiap waktu. Bumi : Apa salah...