[1]

907 32 3
                                    

Terik panasnya sang raja siang cukup menyengat hari ini. Namun hal itu tak sedikitpun mampu mematahkan semangat para penghuni kota untuk melanjutkan rutinitasnya masing-masing. Suara perbincangan orang-orang kota nan indah permai tersebut saling sahut-sahutan dan terdengar begitu abstrak namun tetap menyiratkan sisi keramahan mereka.

Kota Houston.

Begitulah penyebutan untuk kota yang terlihat ancient namun terkesan indah itu. Dengan di lengkapi penghuninya yang ramah tamah sukses membuat kota Houston terhiasi sempurna.

Lain halnya dengan kesibukan penduduk kota di luar rumah, keluarga Bryce malah menghabiskan waktu lebih banyak di rumah hari ini. Sebenarnya bukan tanpa alasan. Sepasang suami istri yang menyandang nama Bryce itu hanya ingin menemani anak tunggal mereka sebelum sang putri berangkat menuju sekolah barunya.

Berbeda dengan anak-anak gadis lainnya yang bebas bermain, gadis berambut curly dari keluarga Bryce tersebut memang harus menyanggupi permintaan kedua orang tuanya untuk mulai bersekolah walau enggan.

Bagi penyihir kota Houston, bersekolah bukanlah sesuatu yang wajib dilakukan. Sihir akan muncul dengan sendirinya sejak lahir ke dunia sihir ini. Jadi, untuk apa bersekolah lagi padahal sihir yang kita miliki suatu saat nanti pasti dapat kita kuasai? Begitulah pemikiran para kaum penyihir yang menepati di kota Houston.

Hal tersebut hanya sebatas pemikiran sebagian dari mereka. Tetapi tidak pada keluarga Bryce. Anak gadis semata wayang mereka yang sudah beranjak usia 16 tahun masih belum dapat mengenyam kekuatan sihir. Sementara anak sepantaran di lingkungannya rata-rata telah mampu menggunakan sihir dasar. Oleh sebab itu, Mr. John Bryce dan istrinya, Mrs. Lauren Bryce memutuskan untuk menempatkan gadis mereka di Magical Witches School (MWC)—sekolah sihir pilihan dari sepasang suami istri tersebut.

"Kathleenn!!! Buruan sayang!" Teriakan Mrs. Bryce terdengar menggelegar ke setiap sudut rumah. Sementara gadis bernamakan Kathleen tersebut tampak tergesa-gesa mengemasi segala keperluannya. Teriakan ibunya tadi sukses membuat ia bergerak lebih gesit.

Setelah memastikan kegiatannya selesai, ia segera beranjak dan merampas tas ransel miliknya.

"Ibu, Ayah.. Aku berangkat yaaa..." pamitnya seraya memeluk kedua orang tuanya itu secara bergantian.

"Hati-hati ya, sayang. Ibu takut kamu terluka." ungkap sang ibu cemas saat pelukan mereka sudah lepas. Kathleen tersenyum seraya menjawab, "Ibu jangan khawatir. Aku pasti bisa lulus seleksi dan aku janji akan datang mengunjungi Ibu dan Ayah."

Mendengar jawaban Kathleen, Mr. John tak kuasa menahan keinginannya untuk memeluk sang putri lagi. Kathleen terkekeh mendapat perlakuan dari ayahnya ini. Dengan lembut, ia mengelus punggung sang ayah sembari berbisik, "Aku akan baik-baik saja, yah..."

Mr. John melepas pelukannya dan mengangguk pasti. Lalu ia berkata, "Sebaiknya kau berangkat sekarang. Jika tidak, kau akan terlambat."

Kathleen mengiyakan perkataan ayahnya. Di kala dirinya sudah berada di teras rumah, ia melambai antusias yang turut disambut lambaian tangan kedua orang tuanya. Tak lupa dia juga mengukir sebuah senyuman di wajahnya.

Lambaian tangan dan senyuman sumringah itu akan menjadi tanda perpisahan yang paling termanis bagi dirinya.

Bagi seorang Kathleen Lawrence Bryce.

***
"Inikah hutan Haron untuk sampai ke sekolah MWC itu?" gumam Kathleen sedikit ragu karena tempatnya masih terlihat asri.

Namun kakinya tetap melangkah lebar memasuki hutan itu. Walau rasa takut telah menggerogoti dirinya, ia berusaha mengenyahkan kelemahannya.

Who Am I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang