[6]

268 26 2
                                    

Rasa lara ini begitu menyakitkan melihat kedua orang tuaku yang kini begitu terpuruk ulah nasib anak tunggal mereka. Air mataku sedari tadi terus pecah tiada hentinya. Isakan ibu terdengar parau hingga membuat hatiku rasanya seolah ditusuk massal oleh sejumlah jarum.

"Se-Seharusnya ayah tidak menyekolahkanmu disana.. Ini semua salah ayah.." Suara pilu ayah memecah keheningan yang kuyakini ayah pasti tengah menahan tangisannya dan berusaha untuk tetap kuat di depan anak dan istrinya. Ayah tak akan bisa membohongiku melalui mimik itu.

"Tidak yah... Ini bukan salah ayah. Aku yang bodoh karena tidak pandai mengeluarkan sihirku hingga membuat semua kesalah pahaman ini. Maafkan aku.." Isakan tangisku semakin kencang seiring mengalirnya air mata yang terus tumpah membasahi wajahku. Aku hanya menunduk meratapi derita ini. Entah kenapa rasanya begitu berat untuk menengadah ke atas.

Ibu menggelengkan kepalanya pelan lalu datang memelukku. Kemudian Hanny juga turut datang menimpa pelukan kami.  Rasanya begitu hangat dan menenangkan di dalam dekapan mereka berdua.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri,nak. Ini bukan salah siapa-siapa." Bisikan ibu memancarkan ketenangan bagiku. Ia memang ahli dalam menghiburku.

Tok..tok..tok..

Gedoran pintu sontak membuat kami terkejut. Ibu menatap aku dan ayah secara bergantian. Aku mengernyit penasaran. Siapa yang datang? Setahuku kami jarang kedatangan tamu.

Ibu memutar knop pintu dan membukanya. "Siapa, ya?"

"Selamat siang, bu... Saya di tugaskan untuk menjemput Kathleen kembali kesekolah."

"A-apa?" Mimik ibu berubah cemas. Begitu juga dengan ayah yang tak kalah khawatirnya. Aku? Jangan di tanya lagi. Kakiku gemetaran lemas tak berdaya. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Kabur? Sembunyi? Pikiranku sibuk berkecambuk tak menentu.

Dia pasti pria—men in black misterius—utusan Prof. Haylee.

Lelaki bertubuh tegap itu langsung menerobos masuk kedalam rumah sebelum ibu menjawab. Mungkin ia geram karena sedari tadi ibu hanya bungkam ragu untuk menjawab.

"HEI!!" jerit ibu berusaha menghentikan lelaki itu tetapi hasilnya nihil. Si pria men in black telah berhasil masuk kedalam rumah.

Kedua manik matanya menyapu keseluruh ruangan dan menatap kami satu per satu. "Ms.Kathleen?"

"Y-yaa?" jawabku terbata-bata.

"Ikut saya!" perintahnya dingin.

"TIDAK!! Biarkan anakku di sini saja! Aku tidak akan membiarkannya keluar dari rumah karena di sini lebih aman!" Teriakan ibu menggelegar di setiap sudut ruangan. Aku tak kuasa melihat ibu yang berjuang mati-matian hanya demi anak gadisnya.

Tarikan genggaman ibu semakin mengunci kuat pada pergelangan tangan kananku. Di sisi lain, sang pria misterius juga tak mau kalah menarik kencang tangan kiriku.

"Dia harus ikut saya!!!" ucap si pria tegap dan kali ini suaranya agak meninggi.

Aku memandang ayah tengah mencoba melepaskan tarikan ibu pada pergelangan tanganku yang sudah memerah perih. "Sudahlah... Anak kitakan kuat. Dia pasti akan baik-baik saja." Kata-kata ayah terlontarkan demi membujuk ibuku yang sedang di luar kendali.

Kutatap sayup wajah pria serba hitam itu hingga membuatku  mendongak keatas karena tingginya yang melampaui tinggiku. Kemudian ia melepaskan genggamannya perlahan-lahan. Mungkin ia mengerti akan kode tatapanku.

Aku rangkup kedua pipi ibu dengan lembut mencoba untuk menyadarkan kecemasannya. "Ibu, aku tidak apa-apa. Percayalah.. Aku akan baik-baik saja." Suaraku serak menahan tangisanku yang hampir pecah kembali.

Who Am I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang