Dua ekor burung elang segera dilepaskan dari jendela dan meleset ke tengah udara.
Baru saja kedua ekor burung elang itu terbang melewati atap rumah, mendadak terdengar suara desiran tajam memekikkan telinga di bawah sorot lampu terlihat beribu-ribu buah jalur cahaya perak yang amat menyilaukan mata melesat ketengah udara menyambar kedua ekor burung elang tadi.
Jelas senjata rahasia itu bukan saja rapat bagaikan hujan, bahkan telah dipolesi dengan racun yang amat keji.
Dari dalam ruangan sebelah utara kembali berkumandang suara teguran yang dingin, "Diantara kamu semua siapakah yang bernama Siauw Ling?"
Siauw Ling tertegun, untuk sesaat lamanya ia tidak mengerti harus mengaku atau tidak.
Dikala ia masih sangsi, Sang Pat telah tertawa terbahak-bahak.
"Haah.... haah.... haah.... diantara rombongan kami tiada yang bernama Siauw Ling, seandainya Siauw thayhiap berada disini, mungkin sedari tadi kamu semua sudah mati diujung pedang serta telapaknya."
Tu Kioe sambar tubuh Pek Bwee dan dihadangkan dihadapannya, lalu berseru, "Pada bagian selatan dan utara masing-masing bersembunyi musuh tangguh. Mari kita terjang kedalam ruangan tersebut, mungkin saja dengan menjebol dinding kita masih punya kesempatan untuk menyelamatkan diri."
Sang Pat yang selalu punya akal dan berotak cerdik, pada saat ini sama sekali tak bisa menggunakan kelebihannya itu untuk memecahkan persoalan, dengan wajah serius dia bungkam dalam seribu bahasa.
Walaupun begitu dalam hati kecil keempat orang itu sama-sama mengerti, seandainya kerapatan senjata rahasia yang dipancarkan dari empat penjuru ruangan adalah sama, maka sulitlah bagi mereka untuk menerjang keluar dari sana.
Yang aneh setelah terjadi tanya jawab tadi, ternyata tiada pembicaraan lain yang berlangsung, ditengah kegelapan masing-masing pihak saling menanti dengan mulut membungkam.
Lama sekali Sang Pat baru berbisik dengan suara lirih, "Toako, rupanya mereka sedang menanti orang, waktu bagi kita tidak menguntungkan. Aku lihat dalam keadaan seperti ini satu-satunya jalan hanya mundur kembali kedalam ruangan. Diantara kita berempat hanya toakolah yang harus tetap hidup dikolong langit, oleh sebab itu toako tak usah memusingkan keselamatan kami lagi...."
"Serangan senjata rahasia mereka rapat bagaikan hujan badai, burungpun sukar untuk melewati daerah sekitar sini. Siauwte rasa akupun tiada keyakinan untuk berhasil meloloskan diri dari tempat ini...."
"Maksud Sang Loo jie?" sambung Tu Kioe. "Adalah diantara kita berempat, tiga orang boleh mati karena kematiannya tidak akan mempengaruhi perkembangan dunia persilatan, sebaliknya mati hidup toako sangat mempengaruhi keselamatan Bulim pada umumnya, maka dari itu seandainya diantara kita berempat andaikata ada seseorang bisa hidup maka orang itu haruslah diri toako."
"Tidak bisa jadi, tidak bisa jadi" tampik Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya. "Kita masing-masing orang mempunyai kesempatan untuk mempertahankan hidup, kenapa diantara kita berempat hanya aku seorang yang harus hidup?"
Ceng Yap Chin menghela napas panjang.
"Aaai, mungkin Siauw thayhiap masih belum memahami maksud hati dari Tiong Chiu Siang Ku maksud mereka berdua adalah dalam keadaan yang bagaimana gawatpun kita sekalian bisa berusaha dengan segala kemampuan kami untuk melindungi keselamatan jiwa Siauw thayhiap."
"Bagaimana cara kalian hendak melindungi diriku? senjata rahasia toh tak bermata. Apakah benda-benda itu bisa menghindari aku orang she Siauw...."
"Bila keadaan memaksa kita bertiga bisa bersatu padu untuk melindungi keselamatan Siauw thayhiap, meskipun tubuh kami bertiga ditembusi oleh senjata-senjata rahasia itu, kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindarkan diri Siauw thayhiap dari ancaman tersebut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Istana Terlarang - Wo Lung Shen
Ficción GeneralLanjutan "Bayangan Berdarah" Dalam cerita "Bayangan Berdarah" dikisahkan bahwa Siauw Ling telah turun ke bawah tebing untuk mencari jamur batu berusia seratus tahun. Pada saat itulah tiba-tiba musuh yang amat tangguh telah menyerang datang sehingga...