"Kau akan pergi lagi?"
Si pria berwajah pucat berpaling dari cermin dan tersenyum hangat pada sang kakak. "Aku tidak akan lama big Bro." Jawabnya.
Sang kakak tersenyum miring. "Ah betapa aku iri kepadamu, Aidan." Pandangannya teralih pada buku tebal yang ada di telapak tangannya.
Aidan, si pria muda berjalan mendekati sang kakak dan duduk di sebuah kursi. "Kau masih belum stabil..." Ucapnya.
"Aku tidak gila." Tegas sang kakak.
"Ya, kau tidak gila Thorn. Tapi, bagaimana dengan Adams?" Raut wajah Aidan berubah serius.
"Apa dia benar-benar nyata?" Thorn menyipitkan kedua matanya. Heran mengapa semua orang memperlakukannya seakan ada dirinya yang lain yang bersemayam di tubuhnya.
Aidan tidak menjawab apapun dan goresan panjang di lengannya adalah sebuah bukti nyata yang tidak akan pernah bisa di tampik Thorn.
"Aku tidak tahu kapan dia akan keluar, tapi... aku yakin. Setelahnya, dia akan melakukan yang lebih buruk daripada ini."
Thorn terdiam. Lagi-lagi pandangannya terpaku pada goresan panjang itu.
Sungguh, masih sulit rasanya untuk mempercayai bahwa dialah yang telah melakukannya.
"Thorn, kau tahu. Aku kembali bertemu gadis itu hari ini." Ucap Aidan tiba-tiba.
Thorn membalik halaman yang sudah dibacanya. "Gadis itu lagi? Aidan, dengar- kau boleh memiliki salah satu wanitaku atau wanita manapun asal jangan gadis itu."
"Memangnya kenapa?" Aidan mencondongkan tubuhnya. "Jangan bilang kau juga menginginkannya!"
"Aku? Tentu saja tidak. Aku tidak kekurangan wanita. Lagipula- siapa nama gadis itu?" Thorn melirik Aidan.
"Layla." Jawab Aidan tegas. "Dia adalah Layla Mc Adams, calon pendampingku."
***
"THORN!"
Gerakan Thorn terhenti. Membeku seperti bongkahan es hanya dalam sekejap.
Ia mengerjap dengan amat perlahan tanpa melepaskan pandangan dariku. "Kau tidak seharusnya telanjang seperti itu." Ucapnya tiba-tiba.
Aku hanya bisa ternganga. Terlebih setelah pria itu melepaskan jasnya untuk menutupi tubuhku. "Layla, apa sebenarnya yang kau lakukan?" Dahi Thorn mengerut.
"Kau yang melakukannya!" Semburku.
Ekspresi Thorn tampak bingung. Seolah... dia baru saja terbangun dari tidur panjang. "Aku tidak mengerti apa maksudmu..."
"Kau gila!" Aku semakin meracau. Kemarahan menguasaiku.
"Cukup! Kau mulai keterlaluan Layla!" Bentak Thorn.
"Kau memang gila! Kau mencekikku, kau bahkan nyaris memperkosaku, kau juga..." ucapanku tertahan, tepat saat pandangan Thorn jatuh pada sosok yang terbaring di sebelahku.
"Aidan, bagaimana-" Thorn mulai terlihat ketakutan.
Kuraih lengan Thorn hingga ia beralih menatapku. "Apa benar kau yang telah membuatnya menjadi seperti ini?!" Tanyaku.
Napas Thorn terlihat memburu. Namun ia tetap tidak menjawab apapun selain hanya bergeming di hadapanku.
"Answer me." Kupertegas lagi pertanyaanku.
Thorn menepis tanganku dengan kasar. "Kau mulai mencampuri urusanku-"
"Aku harus!" Sergahku. "Karena- aku yakin bukan kau yang melakukannya. Aku peduli padamu Thorn." Entah bagaimana... aku merasa seperti sedang menyatakan cinta. Secara tidak langsung.
Kedua mata Thorn menyipit. "Apa aku mulai menyadari sesuatu. Aah-" pria itu lantas membungkuk untuk menatapku. "Kau mulai menyukaiku rupanya."
"AKU TIDAK-"
"Tatapanmu sudah cukup menjelaskan semuanya Layla."
Aku berusaha keras untuk tetap terlihat tenang meski nyatanya sia-sia.
"Bukankah sudah kukatakan padamu. Kita hanya akan bersama selama sepuluh bulan saja, karena itulah aku tidak pernah menyentuhmu." Papar Thorn.
"Kau nyaris menyentuhku." Suaraku terdengar getir.
Thorn membuka mulutnya tapi kemudian kembali bungkam.
Ya, meski Thorn terlihat tidak ingat apapun, raut wajahnya justru berkata lain.
"Apakah aku sudah boleh masuk?" Morris menjulurkan kepalanya dari balik pintu.
Thorn berbalik dan membelakangiku. "Tidak sekarang." Ucapnya.
Kulihat tatapan Morris sejenak teralih padaku. Kemudian, ia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.
"Layla," gumam Thorn. Masih membelakangiku. "Apa kau ingat benda ini?"
Aku mengambil apapun yang bisa kugunakan untuk menutupi tubuhku dan berdiri di sebelah Thorn. Memperhatikan dengan seksama sebuah benda yang ada di telapak tangannya.
Sebuah liontin berbentuk kunci yang terbuat dari emas. "Milik siapa ini?" Tanyaku.
Thorn menatapku dengan tatapan yang dingin seperti biasanya. "Kau tidak mengingatnya sama sekali?"
Aku menggeleng mantap. "Tidak sama sekali. Apakah benda ini ada hubungannya denganku?"
Benda itu kembali ke dalam genggaman Thorn. "Layla, aku tidak tahu. Apakah yang kulakukan ini benar atau tidak, aku memang memintamu untuk berpura-pura menjadi isteriku. Ada alasan di balik ini semua dan kuharap... kau, jangan pernah mencintaku."
Jantungku seketika mencelos. Apa Thorn baru saja menolakku.
"Tapi mengapa saat itu kau menciumku?" Oh Tuhan, mengapa aku menjadi seperti ini sekarang.
"Kau budak yang kubeli, jadi aku berhak melakukan apapun terhadapmu." Jawab Thorn.
Lagi-lagi karena itu... "Jadi kau boleh mempermainkanku seenaknya hanya karena kau telah menebusku?"
"Aku tidak mempermainkanmu. Kita sudah sama-sama dewasa, sama-sama memiliki keinginan, serta hasrat."
"Aah, jadi kesimpulannya kau hanya menganggapku sebagai pemuas nafsumu?!" Air mataku perlahan mengalir.
Thorn hanya menghela napas panjang. Seolah akan mengatakan 'bukan itu maksudku.'
"Jika kau berpikir seperti itu. Maka Ya, kau benar layla." Rupanya tidak.
Thorn untuk kesekian kalinya mengatakan hal yang pahit padaku.
"Aku akan meminta Arnera kesini untuk menjemputmu. Dan sementara ini.... Bella akan meminjamkan pakaiannya untukmu."
"Lagi-lagi Bella." Aku tersenyum sinis.
"CUKUP!" Teriak Thorn habis kesabaran. "Untuk yang terakhir kalinya kukatakan padamu, tidak akan pernah ada cinta di antara kita dan jangan pernah berharap apapun padaku." Ucapnya untuk yang terakhir kali dan pergi begitu saja meninggalkanku.
Aku yang terisak dalam kepedihan yang pilu. Ya, setidaknya aku tidak sendirian. Ada Aidan yang menemaniku.
***
Tbc.

KAMU SEDANG MEMBACA
Thorn Mc Adams
RomanceCinta kami dipertemukan dalam keadaan tidak terduga. Dia, yang bernama Thorn Mc Adams. Adalah bangsawan tampan yang memberikan penawaran dengan harga tertinggi. Penawaran yang akan membawaku ke dalam jeratnya. Terperangkap di dalam permainannya. Dia...