Heartless

9.7K 922 40
                                    

"Kau mengacaukan segalanya Thorn!"

Aidan menatapku dengan penuh kemarahan. Untuk yang pertama kalinya.

Dengan bayi itu di dalam pelukannya.

Ya, ini semua salahku. Sepenuhnya kesalahanku.

Ketika Adams mengambil alih di dalam ketidaksadaranku dan membuat kacau segalanya.

Pandanganku teralih pada sosok yang tak henti menangis di balik tirai putih yang membatasi kami.

"SAMPAI AKU MATI" teriak Aidan. "MEREKA AKAN TETAP BERSAMAKU!!"

Tangisan sang bayi pecah. Memenuhi seantero ruangan. Kali ini akibat ulah Aidan.

Tidak ada yang tahu, apa yang sedang bergejolak di dalam kepalaku saat ini.

Adams tak berhenti mencoba untuk mengambil alih. Hanya dengan kepalan jari tanganku sajalah aku sekuat tenaga menjaga agar tetap tersadar. Sebagai Thorn sepenuhnya.

"Pergilah, bawa mereka bersamamu." Ucapku pada akhirnya.

Tangisan sang wanita berhenti.

Dan hanya dalam hitungan detik, tirai putih itu tersibak.

Wanita itu tertatih menghampiriku. Dengan darah yang masih mengalir di antara kedua kakinya.

Menatapku dengan amat merana. "Kau membuangku..." ucapnya lirih.

Aidan meletakkan bayi itu dan mendekati kami. Menjadi dinding besar dihadapan wanita itu.

"Pergi!" Desis Aidan.

Mulutku terbuka, ingin rasanya aku mengucapkan sebuah kalimat. Tapi-

"Aku akan pergi. Jaga diri kalian baik-baik." Ucapku pada akhirnya.

"TIDAK!" Wanita itu berteriak. Ia berusaha menggapaiku namun Aidan terlalu sulit untuk disingkirkan.

Dadaku terasa sesak. Pedih dan seakan tersayat.

Ini adalah kali pertama aku merasa seperti ini. Dan semua karena wanita itu.

"THORN...."

Kutatap lagi kedua mata itu untuk yang terakhir kalinya... sebelum berbalik dan berjalan pergi.

"TIDAK! THORN... THORN...."

"Layla!!" Kedua mataku terbuka begitu saja. Aah, aku tertidur rupanya.

Mimpi itu lagi.

Sampai kapan aku tidak bermimpi hal itu lagi. Sudah lelah rasanya. Aku ingin melupakan segalanya dan memulai kehidupan yang baru.

Tapi, bayangan Aidan seakan menghantuiku.

Dan aku terpaksa melakukannya lagi. Sesuai dengan kehendaknya.
Nyatanya aku memang tak berhati. Aku juga bukanlah orang yang bisa mencintai. Seharusnya kau lebih memahami itu Aidan.

Membawa wanita itu kembali, sama saja dengan mengulang sejarah kelam di keluarga ini.

"Dad"

Pintu kamarku bergerak terbuka. "Ben mau masuk," ujar anak itu.

Aku menatap rambut gelap anak itu serta wajah pucatnya. "Masuklah." Kataku pada akhirnya.

Ben tertawa dan berlari dengan penuh semangat ke arahku. Menaiki ranjang besarku dengan susah payah dan berakhir di atas tubuhku.

Entah mengapa anak ini begitu suka duduk di atas perutku. "Daddy, thats mommy right?"

Aku tidak menjawabnya.

"Mommy tidak suka Ben," ah betapa malangnya anak ini. "Mommy mendorong Ben..." lihat, kedua mata bulatnya digenangi air mata kini.

"Bukankah sudah kukatakan kalau Mommy sakit." Kusentuh dengan perlahan rambut Ben yang tebal.

"Ben rindu Mommy, Ben ingin punya Mommy. Teman-teman Ben di sekolah punya Mommy... cuma Ben yang tidak punya." Keluhnya.

Bukankah kita sama Ben. Aku pun juga tidak punya Ibu.

"Hug Daddy," aku berusaha tersenyum pada anak itu.

Ben mulai menangis. Dengan terisak membenamkan wajah bulatnya di dadaku.

Aku tidak terkejut dengan keadaan ini. Karena, ini bukanlah kali pertama.

***

Arnera meletakkan cangkir teh di atas meja. Pandangannya tak sedikitpun lepas dariku.

"Jadi, anda benar-benar Nona Layla." Ujarnya.

Aku meraih cangkir teh itu dan meminumnya dengan tanpa meniupnya.

Semua keadaan ini membingungkanku. Dan aku kesulitan untuk menebak segala teka teki ini.

Dimulai dari kehadiran Thorn di pelelangan, klaimnya atas diriku, ucapannya yang seakan sudah mengetahui siapa paman dan bibiku, kebencian Bella padaku, Aidan dan sekarang... anak itu.

Siapa anak itu sebenarnya. Mengapa aku merasa memiliki ikatan yang sangat kuat terhadap anak itu.

"Siapa itu Ben?" Aku menatap lekat Arnera.

Kening Arnera tampak mengerut. "Nona, tidakkah anda mengingat segalanya?"

"Tidak." Jawabku tegas. Ingat apa? Apa yang sebenarnya telah aku lupakan.

Helaan napas Arnera terdengar jelas.

"Jika anda memang nona Layla, seharusnya anda tidak melupakan Ben." Ujarnya yang membuatku tambah bingung. "Aku tidak pernah bertemu ataupun melihat nona Layla, tapi... jika anda adalah dia, kumohon, jangan lupakan Ben. Anak itu serta Tuanku... sangat membutuhkan anda."

Mereka membutuhkanku? Thorn?

Apakah aku benar-benar Layla? Tidak, tidak mungkin. Namaku bukan Layla.

Layla adalah nama pemberian Thorn. Dan anak itu, entahlah.

"Arnera, dengar. Bantu aku keluar dari sini," pintaku tiba-tiba.

Arnera seketika mundur. "Tidak Nona, Mr. Thorn akan membunuhku."

Kuletakkan cangkir dengan terburu-buru dan berdiri di hadapan Arnera. "Dengar, aku bukanlah Layla."

"Apa?" Arnera terbelalak.

"Ya, kau dengar. Aku bukan Layla, namaku adalah..."

Ucapanku terhenti seketika. Ketika kulihat darah menyembur dari dada wanita tua itu dan menciprati wajahku.

Tubuh Arnera ambruk hanya dalam hitungan detik.

Pandanganku teralih dari tubuh Arnera yang bersimbah darah kepada sosok yang berdiri di ambang pintu dalam sebuah gerakan lambat.

"Bukankah sudah kuperingatkan untuk jangan memberitahu siapapun soal ini."

Kedua tanganku gemetar hebat. "T-Thorn..."

Thorn mendelik pada Ben yang terlelap di dalam gendongannya. Sementara sebelah tangannya yang lain secara perlahan menurunkan senjatanya.

"Kau benar, kau bukan Layla." Kekecewaan terdengar jelas dari suara pria itu.

Oh Tuhan...

Thorn memejamkan kedua matanya seraya mendekap erat Ben. "Bersiaplah, aku akan mengantarkanmu kembali pada paman dan bibimu."

Tidak.

"Kau tidak perlu mengganti uangku." Ucapnya lagi.

Thorn...

"Senang mengenalmu, Nona." Thorn menatapku sejenak, sebelum berbalik dan menutup pintu dibelakangnya.

Meninggalkanku yang tak tahu harus berbuat apa, harus berkata apa.

Oh God, bantu aku. Apa yang harus kulakukan?

***

Tbc.

HAPPY NEW YEAR MY DEAR READERS \(^^)/

Thorn Mc AdamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang