Bad Dream

19.2K 1.3K 29
                                    

"Tidak,"

Mataku sontak terbuka. Suara itu... Kusingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhku dan bangkit.

"Jangan... kumohon"

Benar saja. Suara itu milik dia.

"Thorn," panggilku. Sesekali mengguncang bahunya dengan teramat pelan.

"Bunuh saja aku-" ekspresi Thorn terlihat amat merana. Membuaku tak habis pikir apa sebenarnya yang tengah ia mimpikan.

Tanganku kini teralih ke wajahnya. Menepuk kedua pipinya dengan cukup keras. "THORN! BUKA MATAMU."

Kedua mata Thorn masih saja terpejam. Ya Tuhan, ada apa dengannya.

"Layla..."

Layla? Kuguncang lagi tubuh Thorn. "Hei, buka matamu! THORN!!"

"LAYLA," Thorn membuka matanya secara tiba-tiba. Terlihat kelelahan dan tangannya kini mencengkeram erat pergelangan tanganku.

"K-kau baik-baik saja?" Tanyaku.

Thorn tidak menjawabku. Pandangannya berputar ke segala penjuru. Mencari entah apa itu dan rupanya hanya segelas air.

Meneguknya dengan cara yang sangat tidak beretika hingga tumpahan air itu membasahi sebagian piyamanya.

Satu yang membuatku tidak habis pikir. Thorn sama sekali tidak melepaskan pegangannya.

Kuputuskan untuk tidak mengatakan apapun dan memilih untuk diam sampai dia yang membuka mulutnya.

"Layla-" gumam Thorn.

Aku menatapnya dalam keheningan yang pekat. Meski ia tak sedikitpun menatapku.

"Thorn, apa... kau baik-baik saja?" Ucapku. Menanyakan hal yang sama seperti sebelumnya.

Thorn bangkit seraya melepaskan tanganku. "Aku tidak mengerti, apa yang dia sukai darimu Layla."

Dariku?

"Kau tidak cantik dan sama sekali tidak menarik dimataku." Ujarnya lagi.

Kedua tanganku terkepal. Berusaha sekeras mungkin agar tidak terpancing oleh ucapannya yang sangat... SANGAT KETERLALUAN!

"Maaf kalau aku tidak cantik dan tidak menarik." Suaraku terdengar bergetar kini. "Tapi sungguh Thorn, aku benar-benar tidak mengerti apa maksud ucapanmu. Dia itu siapa?"

Thorn mengangkat dagunya. Kemudian tersenyum miring padaku. Sebuah senyuman yang untuk pertama kalinya kulihat terukir di wajah pria ini.

Meski sayangnya, senyum itu sama sekali tidak seindah senyuman pada umumnya.

"Dia, adalah pria yang kau lihat di foto itu."

Terkejut sekaligus bingung adalah yang kurasakan saat ini. "Aku... tidak mengerti apa yang kau-"

Mata Thorn terlihat berkilat. "Seharusnya aku tidak menjadi seperti ini!" Thorn semakin tidak terkendali. Ia berjalan mendekat padaku dan melingkarkan jemarinya yang besar dibahuku.

"Akh, ampun Thorn..." aku tak lagi bisa diam ketika ujung jemari Thorn mulai menekan leherku. Menekannya begitu kuat hingga aku terkunci di bawah tubuhnya.

"Aku hancur Layla," bisik Thorn lirih. Ia mulai menangis kini. Dan cengkeramannya, perlahan mulai terlepas. "Aku hancur sebagai Thorn..."

Thorn kehilangan kendali tubuhnya dan ia menjatuhkan kepalanya begitu saja di bahuku. Terisak dalam tangisan yang demikian pilu.

Seharusnya, aku mendorong tubuhnya menjauh setelah apa yang ia lakukan padaku.

Seharusnya, aku menamparnya berkali-kali karena hinaan yang ia lontarkan padaku.

Seharusnya, aku tidak perduli dengan apa yang ia katakan.

Ya, semua hanya soal 'seharusnya'. Meski nyatanya, aku tidak melakukan semua itu dan malah meraihnya ke dalam pelukanku.

Dan ya, tidak seharusnya juga aku ikut menangis karena merasa iba atas apa yang tidak kuketahui.

***

Pagi pun akhirnya tiba.

Ini, adalah hari ke empat aku bersama Thorn.

Kulihat sebagian wajahnya yang tidak tertutup bantal. Yang begitu damai dalam tidurnya.

Thorn terlelap begitu saja setelah melampiaskan segalanya. Tentang dia dan juga Layla.

Apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa ia bersikap seperti itu. Dan mengapa Thorn melampiaskan kemarahannya padaku.

Kusandarkan tubuhku di dekat jendela. Menatap danau di kejauhan sana.

Semalam, Thorn bisa saja membunuhku.

Oh Tuhan. Mengingatnya saja sudah membuatku tercekat. "Astaga-" nyaris saja aku melompat saat melihat bayangan Thorn dari pantulan kaca.

Aku tidak berani berbalik untuk bertemu muka dengannya.

"Kau sudah bangun?" Tanya Thorn. Suaranya terdengar parau.

Aku tertunduk. "Ya," Jawabku.

"Aku tidak akan meminta maaf atas apa yang kukatakan padamu semalam." Ucapnya lagi.

Aku hanya menjawab dengan anggukan.

"Tapi-"

Sebuah sentuhan yang secara tiba-tiba mendarat di leherku membuatku spontan berbalik dan mau tidak mau bertemu muka dengannya. Dalam jarak yang teramat dekat.

Thorn masih tetap dingin. "Maafkan aku karena berlaku kasar padamu. Seharusnya aku tidak melakukan ini." Tapi ia menyadari kesalahannya.

"Thorn, bolehkah aku bertanya?" Aku berkata dengan teramat pelan. "Siapa dia yang kau maksud semalam?" Ucapku lagi tanpa menunggu jawaban darinya.

Oh Tuhan, aku benar-benar orang yang nekat.

Kening Thorn mengerut. Tapi ia tidak mencekikku kali ini. "Aku akan menjawabnya ketika sandiwara ini berakhir."

Ah ya, hampir aku lupa. Kami sedang bersandiwara saat ini.

"Begitu ya," aku hanya bisa tersenyum. Mengapa perasaanku menjadi sedikit aneh ketika Thorn mengucapkannya.

Terlebih, melihatnya yang kuat menjadi begitu terpuruk seperti semalam... membuatku....

"Apa kau mau teh?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja.

Thorn memiringkan kepalanya sambil menatapku.

"Atau kopi?" Ucapku lagi.

Sebelah tangan Thorn terulur, membelai pipiku dalam sebuah sentuhan yang teramat lembut.

"Buatkan aku pie apple saja." Ucapnya singkat.

Aku buru-buru meraih tangannya sebelum ia menjauhkannya. Menggenggamnya seerat mungkin dengan kedua tanganku.

"Akan kubuatkan." Tegasku.

Sebuah permintaan yang tak terduga. Thorn memintaku membuatkan makanan kesukaannya yang sudah sejak lama ia lupakan.

Mungkin hanya ini yang bisa kulakukan untuk menebus kebaikannya karena telah membebaskanku.

Meski Thorn tidak akan bisa mengetahui bagaimana rasa dari pie apple buatanku. Tetapi aku akan membuatnya dengan sebaik mungkin.

Sampai sandiwara ini berakhir.

Namun sebelum itu, kupastikan Thorn. Akan kucari tahu, apa sesungguhnya yang terjadi padamu, dia dan Layla.

***

Tbc.

Thorn Mc AdamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang