Genta point-of-view
Aku, Genta Airlangga, tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi gadis dihadapanku ini. Orang yang baru kemarin lusa bertunangan denganku, dan kurang dari seminggu akan berubah status menjadi istriku. Evelin Angguna, adik kelas satu angkatan dibawahku.
Kami berada di ruang peralatan olah raga saat ini, dan itu semua berkat aku sebagai ketua klub basket yang memiliki wewenang khusus pada ruangan ini. Aku tidak punya ide lagi dimana bisa berbicara empat mata dengannya selain di ruangan ini. Dia sudah benar-benar membuatku gusar karena tingkahnya di lapangan tadi.
"Tentang kita apa, kak?" Katanya menagih ucapanku sebelumnya.
Aku menatapnya lurus-lurus tepat di matanya. Gadis ini tampaknya tidak nyaman. "Tentang pernikahan dan hubungan kita selanjutnya." kataku lantas memalingkan wajah menatap pintu yang tertutup rapat. Bisa kurasakan dia terkesiap mendengarnya. Kenapa harus begitu? Bukannya dia sadar bahwa cepat atau lambat kami memang harus membahas masalah ini?
"Ba..baiklah." katanya singkat.
Aku kembali menatapnya dan berkata "Saya mau serius sama hubungan ini, bukan atas dasar politik." Akhirnya dengan banyak pertimbangan aku mengutarakan niatku sejak awal, niat yang sudah kutahan-tahan sejak lama. Dan ucapanku berhasil membuat Evelin melongo menatapku dengan shock.
-Flashback On-
Hari itu adalah pagi hari pertama masuk sekolah tahun keduaku di SMA. Aku sedang mengemudikan motor ninja hitamku ketika kulihat di trotoar jalan seorang anak kecil terjatuh karena menabrak seekor kucing.
Aku sudah akan turun dari sepeda motor ketika seorang gadis menghampiri anak itu dengan sepeda keranjangnya. Gadis itu dengan sigap membantu anak itu yang tampak menangis sesegukan. Sedangkan aku hanya diam di atas motor memperhatikan mereka.
Saat itu masih teringat jelas diingatanku, gadis itu memakai atribut Masa Orientasi Sekolah kami. 'Ah, pasti siswi baru' pikirku saat memperhatikannya. Rambutnya dikuncir tiga di kanan, kiri, dan belakang dengan ornamen pita merah. Dipakainya rompi dari plastik merah, dan kaos kaki merah putih belang-belang, dan tidak lupa juga bulatan merah di masing-masing pipinya.
Gadis itu membantu anak kecil itu duduk di tepi trotoar dan menyiramkan air mineralnya pada lutut anak itu yang lecet untuk membersihkannya dari debu, kemudian dia mengambil dua buah plester luka dari tas punggungnya dan menyuruh anak itu untuk memilih salah satunya. Aku terkekeh dari balik helm hitamku saat itu melihat tingkah konyolnya.
Setelah anak itu memilih salah satu plester luka yang gadis itu tawarkan lalu gadis itu menutup lecet di lutut anak itu dengan lembut. bahkan gadis itu meniupnya beberapa kali dan mengajak anak itu tertawa dengan riang. kemudian, ketika anak itu sudah berhasil dibuatnya tertawa, gadis itu membantu anak itu berdiri dan melepaskannya pergi melanjutkan perjalanan. Anak itu melambaikan tangannya dari atas sepeda kepada Gadis penolongnya itu.
Namun ceritanya belum selesai. Gadis itu terlihat celingak-celinguk mencari sesuatu dibalik semak-semak. Dia lalu menerobos masuk ke balik semak-semak itu, dan ketika keluar kembali terlihat dia membawa seekor kucing di gendongannya. Itu kucing yang anak kecil tadi tabrak.
Gadis itu menyentuh kaki kanan belakang kucing itu yang nampak berdarah. Dia terlihat sangat khawatir. Air mukanya berubah menjadi sendu. Dia langsung meletakkan kucing itu di keranjang depan sepedanya dan lalu tergesa-gesa pergi dari situ.
Dan itulah pertama kali aku melihat Evelin. Ya, benar, gadis itu adalah Evelin. Saat itu aku bahkan tidak mengetahui namanya. Namun saat itu juga aku sudah ingin mengenalnya lebih dalam, karena aku kagum pada kebaikan hatinya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Bride
RomanceEvelin hanyalah anak SMA biasa yang harus dihadapkan pada takdir mendadak di hadapannya, Dia harus menikah dengan Genta Airlangga, kakak kelas pujaan satu sekolah, karena perjanjian politik kedua orang tua mereka. Bisakah Evelin dan Genta menyatukan...