18. Evelin 'My Heartbeat'

204K 9.4K 418
                                    

Evelin point-of-view

"Kamu kenapa?" Kak Genta menatapku khawatir. "Flunya makin parah? atau Pusing?"

Aku terdiam beberapa saat dengan banyak sekali hal di kepalaku menyangkut fakta mengejutkan tentangnya.

"Eve gak kenapa-kenapa." Kuturunkan tanganku dari wajah dan memaksakan sebuah senyum di wajahku supaya Kak Genta tidak lagi bertanya macam-macan

"Yakin?" Meskipun ekspresi khawatir di wajahnya sebelumnya sudah menghilang, namun aku masih bisa melihat dia mengerutkan dahi ragu.

"Yakin ihh. Udah yuk filmnya udah mau mulai kan? Ayo, Kak Gen." Aku bangkit dan menarik tangannya pergi.

Aku tidak bisa memberitahunya bahwa saat ini aku sedang diterpa badai kekecewaan menyangkut dirinya, eh, tidak tidak, maksudku menyangkut masa lalunya.

Aku tidak bisa memberitahunya bahwa aku tau dan merasa sedih karena dia sudah pernah berciuman dengan orang lain. Kurasa jika seperti itu, dia mungkin bisa menganggapku sebagai perempuan yang terlalu posesif atau bahkan pecemburu.

∆∆∆∆∆


Filmnya cukup seru, dan itu lumayan membuat emosiku sedikit teralihkan untuk beberapa waktu.

Tanpa terasa ini sudah waktunya bagi kami untuk kembali ke rumah. Tapi, kenapa aku tidak ingin? Maksudku karena aku merasa akan semakin memikirkan tentang hal itu ketika aku sudah di rumah.

"Eve, kamu kenapa? Dari tadi diem terus." Kak Genta menatapku khawatir dalam perjalanan kami ke parkiran motor. Tangannya menggenggam tanganku.

Nyatanya sepanjang film berlangsung aku memang tidak berbicara apapun dengan kak Genta.

Aku hanya balas memberikan senyuman lembut kepadanya dan menggeleng pelan.

"Kenapa?" kak Genta menghentikan langkahnya tepat di samping sebuah pohon besar yang ada di halaman Bioskop.

"Em..." aku ragu untuk mengatakan hal itu. "Eve gak mau pulang."

Kak Genta tampak terkejut mendengar perkataanku.
"Gak mau pulang gimana maksud kamu?"

"Iya, Eve gak mau pulang. Tapi Eve gak bisa jelasin kenapa." Aku menatapnya seolah meminta pengertian.

"Kamu harus jelasin." Kak Genta tampak gusar saat ini. Dia seperti hilang kesabaran menghadapiku yang terus bungkam.

Ditariknya tanganku untuk mengikutinya. Dia mengambil motornya dan menyuruhku naik dengan dingin. Entahlah dia memang bersikap dingin atau tidak, namun aku menangkapnya seperti itu. Mungkin aku terlalu terbawa perasaan.

Aku tidak tahu dia akan membawaku kemana. Tadi aku sempat menanyakan apakah kami akan pulang atau tidak -setelah mengumpulkan semua keberaniaku- dan dia bilang tidak.

∆∆∆∆∆

Kami memasuki sebuah gedung perkantoran. Anehnya satpam yang ada di gerbang masuk tidak memprotes apapun dan membukakan pintu gerbangnya untuk kami. Bahkan dia sempat tersenyum kepada Kak Genta. Apa Satpam itu temannya?

Ternyata bukan. Karena setelah kami sampai di pintu masuk kak Genta mengatakan dengan singkat kepadaku bahwa ini adalah Gedung kantor milik Papa. Maaf, maksudku Papa dari Kak Genta.

Kak Genta terus menuntunku dengan tanganku di genggamannya sejak awal. Kami lalu memasuki lift, dan kulihat kak Genta menekan tombol lantai teratas.

"Kenapa kita kesini?" Tanyaku bingung.

"Kamu bilang gak mau pulang."

"Iya tapi kenapa kesini?" Aku masih bingung. Namun, belum sempat dia menjawabnya, pintu lift terbuka dan kami sampai di lantai teratas. Ini cukup tinggi, sangat tinggi malahan. Bukan sombong, tapi Gedung ini adalah gedung perkantoran yang sangat besar diantara banyak gedung perkantoran yang tidak kalah besar di kota kami.

Sweetest BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang