8. Genta 'Gadis Cengeng'

254K 10.7K 98
                                    

Genta point-of-view

Aku turun ke lantai bawah untuk makan bersama keluargaku. Penampilanku sudah siap dengan seragam sekolahku. Eve sendiri masih mandi di kamar. Butuh perjuangan keras untuk membangunkannya, karena dia terus menolak untuk sekolah hari ini. Tapi itu tidak baik, karena kami sudah cukup tidak masuk sekolah selama 2 hari.  

Evelin tidak akan mau bangun kalau aku tidak menarik selimutnya dan menurunkan suhu AC menjadi suhu minimum . Dia tidak punya pilihan lain selain mandi dengan air hangat atau membeku di dalam kamar. Bukannya aku sadis atau apa, tapi dia tidak bisa jadi anak pemalas seperti itu terus menerus. Apalagi sekarang dia sudah menjadi istriku, maka dia harus peduli kepada pendidikannya seperti apa yang aku lakukan.  

“Loh kamu sekolah?” Mama menatapku yang sedang menarik kursi untuk kududuki dengan heran.  

“Iya, Ma.”  

“Eve juga?”  

“Iya, dia juga.”  

“Kenapa nggak libur aja dulu sehari? Kan kasihan dia capek, Gen.” Mama nampak khawatir.  

“Lebih buruk lagi kalau dia ketinggalan pelajaran banyak.”  

“Jangan samakan dia sama maniak belajar kayak kamu ya!” Nada suara Mama meninggi karena aku keras kepala. Mama lalu meninggalkan meja makan dan naik ke lantai atas membawa segelas susu yang pasti untuk Eve.  

Di meja makan hanya ada Mama pagi ini, karena kak Angel dan keluarganya sudah pulang pagi-pagi sekali. Sedangkan Papa seperti biasa, berangkat lebih pagi ke kantornya.  

Aku sudah hampir menyelesaikan sarapanku ketika Mama dan Eve turun.  

“Pagi, kak.” Eve menyapaku dengan senyum di wajahnya.  

“Eve yakin mau sekolah nak?” Mama meletakkan sepotong roti di piringnya yang kosong.  

“Yakin, tante.”  

“Eh, ke mertua kok masih panggil tante?! Panggil Mama!” Nada Mama saat mengatakan nyaris seperti membentak.  

“I..Iya Mama.” Eve tampak sedikit shock mendengar nada dari Mamaku. Kalau dia mengenal Mamaku lebih lama, mungkin dia akan tau bahwa Mamaku memanglah seperti itu. Nadanya gampang sekali meninggi, meskipun tidak semuanya karena emosi. Itu sudah seperti karakternya.  

“Gitu dong. Berangkat sama Genta ya?”  

Aku mengangguk menyetujui saran Mama. Namun, Eve malah cepat-cepat menggeleng. Eh? Kenapa anak ini?  

“Nggak usah, Mama. Eve naik taksi aja.”  Aku dan Mama sama-sama menatapnya heran. Eve melirik kepadaku dengan gusar.  

“Kenapa?” Kali ini aku yang bertanya.  

“em, karena...” Eve tampak tidak bisa menjelaskan alasannya.  Aku menatapnya penasaran.

“Kenapa?” Tuntutku sekali lagi.  

“Eve masih mau mampir dirumah temen, Ma. Nggak papa kan?” Bukannya menjawabku, dia malah memohon kepada Mama. Hei, ini hanya perasaanku saja atau aku memang diabaikan?  

“Oh begitu, yasudah besok sama Genta ya?” Mamaku mengalah dan Eve mengangguk mengiyakannya.  

Meskipun Mamaku mengalah kepada permintaannya namun aku masih penasaran dengan alasan sesungguhnya. Aku tidak bodoh untuk tau bahwa alasan tadi hanyalah karangannya saja.  
Jadi ketika taksinya datang dan dia akan masuk kedalam, aku lebih dulu mencegatnya dengan menahan tangannya di depan pintu pagar rumah.  

“Mau kemana kamu?”  

“Sekolah, kak.”  

“Bareng saya.” Ada nada menuntut di perkataanku.  

Sweetest BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang