Genta Point-of-view
Latian untuk turnamen basket ini menyita semua waktuku. Bahkan hanya untuk bertemu Evelin saja sangat sulit. Kami hanya bertemu saat pagi hari saja saat sarapan dan perjalanan menuju sekolah.
Awalnya semua baik-baik saja, namun entah kenapa akhir-akhir ini perbicaraan yang tercipta hanya menyangkut hal-hal kecil dan tidak penting. Seperti pagi tadi, ketika aku pergi sekolah bersamanya, kami hanya berdialog kecil tentang jarangnya Papa dan Mama di rumah. Aku merasa sedikit khawatir dengan situasi ini, namun aku hanya bisa berharap bahwa kekhawatiranku tidaklah beralasan. Ada keyakinan di dalam hatiku bahwa Evelin benar-benar mengerti tentang pentingnya turnamen ini bagiku. Kuharap dia bisa bersikap dewasa tentang situasi sulit yang menerpa kami.
Masih teringat di kenangan ketika hari kedua latian intensifku yang membuatku pulang sampai larut malam. Di rumah dia menungguku hanya untuk mengungkapkan rasa rindunya yang tidak bisa melewati hari bersamaku. Rasanya bisa kurasakan bahwa di hari itu aku melihat seorang Evelin yang polos bisa berubah menjadi Evelin yang berbeda hanya karena sebuah rasa rindu. Disitulah aku menyimpulkan bahwa rindu bisa mempengaruhi gadis itu begitu besar.
Jujur, ingin aku tanyakan apa yang dia rasakan atas ketidakhadiranku disisinya lebih dari seminggu ini. Aku ingin tahu apa isi hatinya. Karena seperti yang kubilang sebelumnya, aku khawatir.
∆∆∆∆∆
"Ngelamun mulu lo." Rap menepuk bahuku dari belakang. Aku tengah terduduk di tribun lapangan basket karena ini adalah waktu istirahat bagi kami.
"Gue butuh hubungin Evelin." aku menatap jam tangan yang ada di genggamanku. Ini sudah pukul 6 malam. Aku merasa sedih jika dia harus makan malam sendiri mengingat kedua orang tuaku sedang ada urusan ke luar kota.
"Kenapa lo nggak coba izin ke pak Jonn?" Rap memberi saran, namun aku hanya bisa menggeleng tidak setuju. Pak Jonn memberi peraturan tegas bahwa tidak ada ponsel saat latihan, itu adalah peraturan pentingnya. Semua ponsel anggota tim akan di kumpulkan dalam sebuah kotak, dan kunci kotak itu ada di dalam kuasa pak Jonn sendiri. Dia tidak pernah melonggarkan peraturannya bahkan untukku selaku ketua tim. Dia baru akan melonggarkannya ketika ada kepentingan mendesak bagi anggota tim.
"Lo yakin bener-bener butuh ponsel?"
"Kenapa?" tanyaku bersemangat. "Lo punya cadangan?"
"Ehehe nggak lah, mana mungkin." Kata Rap cengengesan, membuatku ingin menggunakan kepalanya sebagai pengganti bola basket.
"Bangke." gerutuku.
"Maksud gue, lo kan jenius tuh, jadi apa nggak ada ide buat dapetin ponsel lo yang ada di pak Jonn gitu?" kata Rap sambil mengangkat alisnya sok cerdik.
"Ide apaan."
"Apa aja. Pura-pura anjing lo mati atau gimana gitu." Rap mengedikkan bahu.
"Gue gak punya anjing. Kalau temen kayak anjing ada, satu." aku sengaja menyindirnya sekedar candaan.
"Sekarang lo yang bangke kan. Bodo lah, gue ngambek." Rap langsung bangkit dan turun dari tribun ke lapangan dengan gaya kekanak-kanakan. Dia berbalik dan berjalan pergi setelah sebelumnya mendengus seolah-olah merajuk. Dasar bocah gila.
Tiba-tiba saja dia berbalik dan mendongak menatapku dari bawah. "Lo tau? Apa yang lo lakuin ke gue itu jahat! JA-HAT!" dia tiba-tiba menirukan sebuah dialog film layar lebar lokal yang cukup populer lengkap dengan pengucapan dan ekspresinya.
Melihat tingkah abnormalnya itu seketika membuatku ingin tertawa terbahak-bahak. Namun jika aku tertawa, itu berarti dia menang. Jadi, sebagai solusi terbaik, aku hanya bersikap dingin dan menatapnya datar, kemudian berpura-pura menggaruk dahiku dengan jari tengah. Dan hal itu sukses membuat Rap sewot karena kalah. Jadi sebagai gantinya, dia mengangkat dua jari tengahnya ke arahku sebelum kemudian pergi mengambil air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Bride
RomanceEvelin hanyalah anak SMA biasa yang harus dihadapkan pada takdir mendadak di hadapannya, Dia harus menikah dengan Genta Airlangga, kakak kelas pujaan satu sekolah, karena perjanjian politik kedua orang tua mereka. Bisakah Evelin dan Genta menyatukan...