Siang telah berganti malam. Sinar matahari kini telah digantikan oleh paparan sinar rembulan sabit yang tak seberapa terang. Bintang-bintang perlahan bermunculan secara berangsur-angsur hingga menjadi sebuah hamparan ketombe di kain hitam.
Begitulah terus pergantian waktu yang kadang tak terasa telah berlalu begitu saja.
Anaya baru saja selesai membantu Bu Asrip mengemaskan peralatan membuat kue untuk pesta ulang tahun pelanggannya. Dengan keringat yang mengalir di pelipis dan beberapa bagian tubuhnya membuat baju dan jilbab yang digunakannya telah basah, namun tak menampakkan lekuk tubuhnya. Pakaiannya selalu kain jenis tebal. Bukan jenis pakaian kekinian itu.
"Udah, Nay. Nanti sisanya biar Ibu yang bereskan. Kamu balik aja sekarang. Kasian pasti kamu capek ya bantuin Ibu sejak pulang kuliah tadi," tegur Bu Asrip.
Kadang, beliau tidak tega melihat Naya membantunya begitu keras. Ia sudah sering menyuruh Anaya untuk pulang ke kost lebih awal, sehingga tenaganya tidak terforsir banyak. Tapi Naya orangnya keras kepala. Banyak tidak 'enak hatinya' sama orang yang sudah membantunya. Sehingga ia akan melakukan apa saja untuk membalas budi orang yang sudah membantunya selama ini.
Naya tersenyum. Menoleh sebentar pada Bu Asrip, sebelum kembali melanjutkan cucian peralatan bekas adonan kue. "Nggak apa-apa kok, Bu. Ini sedikit lagi. Setelah ini baru Naya akan pulang."
"Tapi ini sudah jam 9 malam, Nak. Nanti kamu kecape'an. Kalo kamu sakit, siapa yang akan ngurus kamu di kost? Siapa yang akan bantuin Ibu di sini? Kuliahmu juga nanti akan keteteran kalo kamu sakit. Ayolah Nak, dengerin apa kata Ibu ini," bujuk Bu Asrip lagi.
Bu Asrip sangat menyayangi Naya, seperti dia menyayangi anak-anaknya. Jika saja anak laki-lakinya sudah besar, pasti akan ia jodohkan dengan Naya. Tapi sayang, anak laki-lakinya baru berusia 7 tahun. Tidak mungkin dia menjodohkan anaknya yang masih bocah sama Naya yang sudah 18 tahun.
"InsyaAllah Naya akan selalu diberikan kesehatan oleh Allah. Ibu jangan berpikiran kayak gitu. Ucapan adalah doa. Naya nggak mau kalo ucapan Ibu terkabul, Bu Asrip sendiri yang repot nanti," Naya terkekeh kecil.
Bu Asrip cuma menghela napas.
Memilih mengalah dan membiarkan Anaya menyelesaikan pekerjaannya dengan bantuannya."Eh, kok Ibu ikut nyuci juga? Biar Naya sendiri aja, Bu." tolak Naya halus. Tidak enak hati ketika Bu Asrip ikut membantunya mencuci peralatan adonan kue yang penuh lemak bekas mentega.
"Udah, jangan banyak protes. Kamu nggak mau dengerin omongan Ibu, Ibu pun nggak mau dengerin kamu saat melarang Ibu membantu mencuci perlatan ini."
"Tapi kan ..."
"Udaah. Jangan banyak omong. Kamu cuci, Ibu bilas. Biar cepat selesai, dan kamu bisa segera pulang istirahat."
Naya bungkam. Tidak bisa membela diri lagi. Hal itu membuat Naya semakin tidak enak hati lagi pada Bu Asrip. Beliau terlalu baik dengannya, sehingga ia kebingungan sendiri akan membalasnya dengan apa nanti.
***
Naya melangkah lesu menuju kosannya. Sepeda yang biasa ia seret kini tak kelihatan ada bersamanya. Ketika ia melintasi taman yang masih terlihat ramai, ia berbelok menuju taman dan duduk di salah satu ayunan yang ada di sana.
Cahaya bintang yang berkelip-kelip menghipnotis Naya untuk mendongak menatapnya kagum. Mereka terhampar saling bersisian. Tapi, ada satu bintang yang sangat kecil, sinarnya tak seterang bintang-bintang lain. Bintang tersebut memisah dari sekawanan bintang lainnya. Ia bagai tersisihkan. Cahayanya yang buram membuatnya tak dikenal yang lain. Manusia bahkan mungkin tak ada yang menyadari keberadaan bintang itu di sana.