Pintu kamar terhempas menimbulkan suara debuman yang keras. Alif keluar dengan wajah menyeramkan. Membuat siapa saja yang melihatnya tak berani menegur.
Ara dan Aisya saling menyikut. Awalnya mereka keluar ingin ke ruang tengah, tapi Alif sudah tiba di sana terlebih dahulu membuat langkah keduanya terhenti di depan pintu kamar. Mereka berdua bukan tidak tahu dengan apa yang terjadi pada Kakaknya itu. Suara bentakan Kak Alif dan isakan Naya meyakinkan Ara dan Aisya bahwa keduanya sedang bertengkar hebat. Entah siapa yang salah, Ara dan Aisya tak ingin terlalu ambil tahu. Toh nanti mereka juga akan mengetahuinya sendiri.
Alif duduk di sofa ruang tengah sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Bukan hanya Naya saja yang pusing, Alif juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, ketika mendengar rengekan dan tingkah menyebalkan Naya berhasil memancing amarahnya.
"Kamu terlalu emosian, Lif."
Alif membuka mata. Ayahnya mendudukkan diri di sebelah Alif, membuka buku yang dibawanya lalu membacanya dalam hening. Alif menatap Ayahnya dengan kening berkerut ketika selama beberapa detik, Ayahnya tak juga membuka suara.
"Dia kelewat manja, Yah." Alif menyahut akhirnya. Ia pikir Ayahnya hanya berkata sampai di situ.
Tapi,
"Liat judul buku ini." Ayah menutup bukunya, menunjukkan cover buku dan menyuruh Alif untuk mengejanya sendiri.
Andai Aku tidak Menikah dengannya.
Karya Dr. Syafiq Riza bin Hasan bin Abdul Qadir bin Salim Basalamah, MA."Lalu?" Alif masih belum paham. Ayah Andi tahu itu.
Ayah Andi lalu membalik cover depan buku ke cover sebaliknya. Disana tertulis kata-kata yang telak mengenai hatinya.
"Pernikahan adalah suatu perjanjian besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki yang mana dia mengambil seorang wanita dari kedua orang tuanya untuk hidup bersamanya dalam sebuah bahtera yang bernama rumah tangga yang dipimpin olehnya. Namun realitanya, berapa banyak perempuan yang harapannya hanya mimpi, kebahagiaannya menguap seperti embun segar ketika disapa mentari pagi. Hari-harinya bak neraka yang panas dan membakar hati. KDRT sudah menjadi santapannya sepanjang hari. Mawar yang indah itu hidup di bumi yang kering kerontang tanpa air yang menyirami. Sudah saatnya seorang suami memahami tabiat seorang istri. Jangan biarkan air matanya menetes di pipi. Jadikanlah ia hiasan terindah yang dimiliki. Jangan sampai terbetik dihatinya perkataan,"andai aku tidak menikah dengannya."
Jleb.
Kata-kata yang tertulis di sana mampu menyentil perasaan Alif hingga ia tak berani untuk berdalih.
"Ayah tau jika kamu menikahinya bukan karena cinta. Kamu menikahinya karena terpaksa. Begitupula dengan istrimu. Kalian sama-sama terpaksa menikah dan terbelit tali dengan hadirnya seorang anak di rahim istrimu. Jangan jadikan pernikahan kalian berakhir tragis dengan kelabilan kalian berdua. Walau apapun, kamu sebagai suami punya tugas dan tanggung jawab pada istrimu. Ayah nggak mau dengar kata-kata terkutuk itu keluar dari bibirmu ataupun terbesit dihatimu. Akibatnya sangat fatal, kamu tau itu Lif."
Alif terdiam di posisi sebelumnya. Mencerna dengan baik nasehat yang diberikan sang Ayah untuknya. Sentuhan hangat dari tangan berkeriput milik sang Ayah menyadarkan Alif dari pikiran panjangnya.
"Jangan banyak berpikir. Dengarkan nasehat Ayah jika kamu nggak mau menyesal."
Ayah Andi mengambil buku bercover ungu yang ia bawa tadi dan menyerahkannya pada Alif. "Ambil buku ini, baca, pahami dan renungkan. Banyak pelajaran yang nggak kamu dapatkan di Akademi penerbangan, tertera di dalam buku ini."