Part 9

36.3K 2.9K 104
                                    

Aroma kopi menguar menusuk ke dalam indra penciuman Alif. Dia baru saja selesai mengurus administrasi rumah sakit untuk Naya, lalu pergi ke kantin untuk memesan segelas kopi dan membawanya ke taman rumah sakit.

Lihat, bahkan sebelum menikah dengannya saja, Alif rela memberikan uang hasil kerja kerasnya untuk membiayai perawatan Naya. Mama Dinda tersenyum melihatnya. Secara tidak sadar, Alif sudah mulai perhatian dengan Naya. Dia yang menyemalamatkan Naya dari kejahatan Pak Doni, membela Naya mati-matian dengan menghajar Pak Doni dan meminta para warga untuk menyerahkan Pak Doni ke polisi untuk dihukum. Alif yang membawa Naya ke rumah sakit saat Naya dalam kondisi hampir skarat, bahkan Alif tampak sangat cemas yang tak pernah Mama Dinda lihat sebelum ini.

Mama Dinda yakin, jika Alif juga sudah mulai ada rasa terhadap Naya. Cepat atau lambat, proses perjodohan keduanya itu akan mengantarkan Alif menjadi laki-laki yang lebih bertanggung jawab, tidak lagi bergelut dan bermanja dengan Mamanya, karena ia sudah mampu menyadari posisi dirinya dalam keluarga kecilnya kelak. Alif akan menjadi imam, bukan lagi seorang anak yang pantas untuk dimanja Mama.

"Kok di luar? Di sini dingin. Kamu nggak mau menjenguk Naya di dalam?" Mama ikut duduk di samping Alif, di kursi taman yang mulai sepi karena malam sudah berganjak datang.

"Nggak usah Ma. Nggak enak sama dianya nanti. Apa Mama yang bakal jagain dia di sini?" Alif bertanya, tangannya memutar-mutar gelas kopi yang terbuat dari plastik.

"Itu dia. Mama nggak bisa bermalam di sini. Kasian Ayah nggak ada yang ngurus di rumah. Tanggung jawab Mama sangat besar selama ada Ayah di rumah. Tapi, Naya nggak ada yang jagain kalo Mama pulang nanti."

"Temennya yang tadi datang, nggak mau jagain?"

Yang dimaksud Alif adalah Hani. Tadi Hani sempat datang menjenguk Naya lama, ia merasa sangat kaget ketika mendengar bahwa sahabatnya itu diperlakukan tidak wajar oleh Bapak kosannya. Tapi, Hani tidak bisa menemani sampai malam, karena dia harus kerja part time malam hari untuk menambah biaya kuliahnya.

"Nggak bisa. Dia kerja malam. Makanya tadi jam 5 dia langsung balik." Sahut Mama.

Alif tampak berpikir. Jika Naya tidak ada yang jaga, lalu bagaimana jika sesuatu akan terjadi padanya saat dia sendirian di ruang inapnya. Perawat tidak setiap saat ada untuknya kan?

"Ara? Kan Ara juga temennya. Suruh aja Ara ke sini. Masa temen sakit dia nggak mau nemenin?"

Mama berdecak. "Kan Ara ikut membawa para Sispala ke puncak tadi pagi. Besok sore baru balik lagi ke sini."

Ah iya ya. Alif lupa. Tadi pagi adik bungsunya itu kan pamit padanya mau ke puncak untuk membawa para anggota Sispala (Siswa Pencinta Alam) dari siswa-siswi SMAN 8 Jakarta.

"Lalu, kita tinggalin aja dia di sini? Kan banyak perawat yang bakal jaga dia."

Mendengar itu, Mama Dinda mendesis lalu menggeplak lengan putranya itu karena kesal.

Dasar, tidak peka sama sekali.

"Kamu kok nggak peka banget sih? Kamu kan calon suaminya, coba kamu yang jaga dia di sana."

"Loh, kok Alif? Mama nggak takut bakal terjadi apa-apa sama kami berdua nanti?"

"Coba aja kalo berani kamu macam-macam sama dia. Mama langsung bawa penghulu saat itu juga."

Alif mengerucutkan bibirnya.

"Mama mau pulang sekarang. Kamu di sini aja, jaga Naya. Ntar kalo dia kenapa-napa kamu bisa membantunya." Mama bangkit, bersiap untuk pergi.

"Alif antar ya?" Tawarnya.

"Nggak usah. Sebentar lagi Ayah jemput Mama. O ya, satu lagi. Naya masih mengeluhkan lehernya yang sakit. Kata Dokter, dia nggak boleh menggerakkan lehernya dengan leluasa untuk beberapa hari hingga sembuh. Jadi, Alif cukup pastikan kalo dia nggak banyak gerak. Terus, nanti kalo ada apa-apa, Alif panggilkan perawat, pastikan Naya istirahat yang banyak. Terus, ___"

Menjaganya  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang