Titikan embun di daunan hijau perlahan telah menguap diserap cahaya matahari. Suara cicitan burung di pepohonan menjadi nyanyian wajib pagi hari di kediaman keluarga Andi yang asri. Pohon-pohon hijau dan rimbun menjadi penghias dan penyejuk di halaman rumah mereka, tak ayal menjadi lokasi kegemaran para burung-burung indah itu untuk bertengger dan berkicau.
Naya membuka jendela kamarnya dan Alif, melihat Mama Dinda tampak asik menyiram kebun bunga ciptaannya di halaman rumah. Kupu-kupu lucu mulai berterbangan, mencari nutrisi dari nektar-nektar bunga indah yang mulai bermekaran seiring naiknya matahari ke permukaan.
Pak Asep juga kelihatan baru tiba setelah subuh hari tadi berangkat untuk mencari rumput segar di kebun untuk pangan kambing-kambing peliharaan Alif.
Naya juga baru selesai bersiap. Ia ada jadwal kuliah pagi ini. Setelah beasiswanya dicabut, kini dirinya sudah bisa kembali berkuliah dengan biaya pribadi. Sesuai kesepakatan sebelum menikah, bahwa Naya akan kuliah dibayarkan oleh suaminya itu. Tentu saja, tanpa kesepakatanpun suami memang harus memenuhi kebutuhan sang istri. Termasuk kebutuhan menuntut ilmu.
Setelah lama ia tertegun di jendela kamar, ia menapakkan kakinya keluar kamar menenteng tas jinjing branded yang dibelikan Ara untuknya.
Ah, lebih tepatnya Alif yang menyuruh Ara untuk menemani Naya belanja menggunakan kartu kredit miliknya. Sudah tentu Ara dengan senang hati menerima suruhan Kak Alifnya untuk kemudian ia minta bagian pada Naya agar turut dibelikan tas yang bernilai sama pada Kakaknya itu.
Ara yang pintar. Pintar memeras dompet tebal kakaknya.
"Eh? Ada masuk pagi ya?" Mama Dinda menuju teras depan. Di mana Naya baru saja menginjakkan kakinya di sana.
"Iya Ma. Ada dua mata kuliah hari ini." Naya menjawab seraya mendekati Mama mertuanya dan ikut membantu membawakan peralatan lain yang akan Mama mertuanya itu gunakan untuk berkebun bunga.
"Mama mau nanam bunga lagi?"
"Iya. Mama mau nambah koleksi tanaman puring Mama. Karena pupuknya kan ada di belakang, ada untungnya juga Alif itu melihara kambing. Mama nggak perlu beli pupuk ke toko lagi." Mama menyengir. Membuat Naya ikut terkekeh mendengarnya.
Setelah selesai membantu Mama mertuanya membawakan peralatan berkebun ke halaman depan, Naya kembali ke teras. Mengambil tas jinjing berisi buku kuliah yang tak seberapa banyak itu, lalu melangkah pergi. Tak lupa ia berpamitan pada Mama mertuanya terlebih dahulu.
Biasanya Naya juga berpamitan pada suaminya Alif. Tapi karena suaminya itu sedang bertugas sejak lima hari yang lalu, jadi Naya hanya perlu pamit dan mencium tangan Mama mertuanya saja.
"Naya pergi dulu ya Ma. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya sayang."
Naya mengangguk. Lalu melangkah menyeberangi jalan raya untuk sampai ke kampus.
***
Suasana kampus masih sama seperti biasanya. Ramai dan sibuk. Kadang Naya suka pusing sendiri ketika melihat mahasiswa tingkat akhir lewat ke sana kemari.
Waktu merupakan harta paling berharga bagi mereka. Jika lewat semenit saja, rasanya skripsi mereka baru akan selesai setahun kemudian. Tak dipikirkan, tapi wajib untuk dipikirkan. Jika dipikirkan, malah stress duluan, otak jadi blank. Bahkan untuk membuat judul saja perlu berbulan-bulan lamanya. Padahal, masalah sudah jelas ada di depan mata untuk diteliti.
Itulah mahasiswa semester akhir. Adik-adik tingkat boleh saja tertawa saat ini, tapi tunggu saat hari 'itu' tiba. Mereka pasti akan merasakan bagaimana susahnya menjadi mahasiswa tingkat akhir.