¯
Malam pertama sejak kepulangannya dari dinas, Alif terpaksa mengungsi tidur di kamar kakak sulungnya, Wiya. Begitu mengetahui bahwa kasurnya bekas kencing keponakannya yang baru bergigi empat itu, dia langsung memanggil sang mama sebagai pemecah masalah. Namun, sial bagi Alif. Ketika ia meminta bantuan sang mama untuk mengganti alas tempat tidurnya, sang mama malah berbalik menyuruhnya mengganti sendiri dengan menjemur kasur tersebut terlebih dahulu di teras belakang rumah.
Alif bergerak gelisah di tempat tidur sang Kakak. Malam kian larut, tapi ia masih tak bisa tidur karena dekorasi kamar sang kakak membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Entah merasa kagum akan keindahannya atau mungkin sebaliknya? Ah, entahlah. Tidak ada yang tahu apa yang membuat Alif gelisah malam ini.
"Aarrgh .... Kenapa sih cewek suka banget sama warna pink? Bikin mata gue katarak aja liatnya. Gara-gara kasur dikencingin, gue harus tidur di kamar super pink ini yang bahkan saat gue merem-pun, silau warnanya masih mampu menusuk retina mata," omelannya terdengar agak berlebihan.
Tapi, siapa yang peduli itu?
Tak dapat memejamkan mata di kamar sang kakak, Alif beranjak dari kamar Wiya membawa selimut serta bantal ke ruang tv. Membaringkan tubuhnya di sofa lipat dan membuka siaran bola di tv. Baru beberapa menit saja dia berbaring di sana, Alif sudah terbang ke alam mimpi.
Mungkin benar, dekorasi kamar Wiya yang serba merah muda tersebut membuat mata Alif sulit terpejam.
¯
Suara cicitan burung di pagi hari terdengar saling bersahut-sahutan. Bertengger pada ranting-ranting pohon mangga halaman rumah keluarga Andi. Mama Dinda berjalan dan bergegas menuju ruang tv dan mendapati Alif itu masih asik mendengkur di sofa ruang tengah.
"Ya Allah, ini anak. Udah siang gini masih belum bangun juga?" Mama Dinda mengerang frustasi, lalu dengan senjata pamungkasnya, Mama masuk ke dapur dan kembali ke ruang tengah sembari membawa segelas air lalu memercikkannya ke wajah Alif.
Perbuatan yang dilakukan Mama Dinda sukses membuat Alif terkejut, lalu berteriak heboh. "Ada tsunami. Tolong. Toloooong."
Mama Dinda memutar bola matanya malas. "Tsunami dari Hongkong? Pipimu tuh ada sungai Amazon. Bau lagi."
Sadar bahwa percikan air tadi berasal dari keisengan sang mama, Alif memutuskan duduk. Hawa mengantuk masih kian terasa. Pria itu tak mau menambah kemurkaan sang mama jika ia tak segera bangun.
"Udah, jangan banyak drama lagi. Sekarang kamu bangun, cuci muka, wudhu' dan segera sholat subuh. Waktu subuh udah mau habis, nih. Kak Alif itu laki-laki, udah dewasa. Kalo di kasih istri, mungkin Mama udah nambah sepuluh orang cucu lagi. Mama udah tua Lif, mau sampai kapan kamu dikasih tau terus mengenai kewajiban sholat? Mama nggak tau deh, waktu kamu dinas, siapa yang bangunin dan nyuruh sholat?"
Alif menggaruk pipinya. Tausiah pagi sudah mulai, pikirnya.
"Iya Ma. Alif mau sholat ini. Mama jangan ngomel lagi, ya? Alif khilaf, bangunnya kesiangan karena semalam nggak bisa tidur." Alif mencoba membuat mamanya mengerti.
Mama Dinda menghela napas. Mengusap wajahnya sambil mengucap istighfar pelan. "Ya sudah. Jangan lengah lagi. Ayo, kamu segera wudhu dan sholat. Setelah itu, terserah mau ngapain lagi."
Alif mengangguk. Ia langsung melaksanakan perintah sang mama tanpa banyak protes. Senakal-nakalnya Alif, tapi dia tidak pernah membangkang perkataan orang tuanya, terutama mamanya. Meskipun Mama Dinda hanyalah ibu tiri, tapi Alif sangat menyayangi beliau seperti beliau menyayanginya. Bagi Alif, Mama Dinda adalah ibu terbaik yang pernah ia miliki setelah kepergian sang ibu untuk selamanya.