Hati-hati yang 'masih polos', ada beberapa bagian yang rada-rada bikin kalian sesakh...hahaa...ga banyak sih, tapi ada lah dikit. Hehee...
***
Pagi kembali menyapa.
Ibarat pepatah adanya pertemuan, maka ada perpisahan.
Sebagai tamu, keluarga Andi tidak bisa menginap lama di rumah Pak Mawan, yang kini sudah menjadi besannya. Pekerjaan di ibu kota seolah melambai-lambai, membuat Andi tak bisa menerima tawaran menginap beberapa malam lagi di Cianjur. Tiga hari dua malam sudah merupakan waktu yang cukup lama untuk Andi meninggalkan pekerjaannya di Jakarta. Ayash juga sama, ia kembali ke Jakarta bersama Arkan pada hari yang sama saat Kak Alifnya menikah. Ayash sedang memegang sebuah proyek pembangunan yang membutuhkan jasa arsiteknya, membuatnya tak bisa meninggalkan tanggung jawab kerjanya terlalu lama.
Koper-koper pakaian Mama Dinda, Ayah Andi, Aisya dan Ara digeret masuk ke dalam mobil oleh Alif. Keluarganya memang sudah kembali ke Jakarta, tapi Alif masih menetap di sana hingga dua hari ke depan. Tepat saat ia harus kembali bertugas.
"Terima kasih ya Bu Sari, Pak Mawan atas tumpangannya selama kami berada di sini. Rasanya saya nggak mau kembali ke Jakarta, Jakarta sumpek. Kalo di sini adeem. Tapi mau bagaimana lagi, rumah kami di sana, kerjaan suami juga ada di sana. Mau nggak mau yaa, harus kembali."
Sebelum benar-benar pergi, Mama Dinda menyempatkan diri untuk berbasa-basi sejenak. Apa yang dikatakannya memang tulus dari hati. Rasanya memang menyenangkan apabila tinggal di desa.Bu Sari mendekat. Ia memeluk besannya, lalu tersenyum lembut setelah pelukannya ia leraikan.
"Sama-sama, besan. Suatu saat nanti giliran kami yang akan merepotkan kalian karena kedatangan kami."Mama Dinda balas senyum. "Iya. Kami dengan sangat berbesar hati akan menyambut kedatangan Bu Sari dan keluarga ke rumah sederhana kami."
Mama Dinda kemudian mengalihkan pandangannya pada Alif yang berdiri si samping Naya. "Mama akan kembali ke Jakarta, ya. Sekarang kamu udah jadi suami, jaga istrimu baik-baik. Bukan cuma jaga fisiknya aja, imannya juga perlu kamu jaga. Tanggung jawabmu kini udah makin besar ya Kak. Kamu nggak bisa bertingkah seperti bocah lagi. Nggak pantas."
Alif mengangguk mantap. "Sip." Lalu mengunjukkan kedua jempolnya seolah ia begitu yakin bisa menjadi suami seperti yang Mamanya harapkan.
Mama kembali mengalihkan pendangannya pada Naya, yang terlihat lebih muram dan wajah yang agak pucat sejak bangun tidur tadi pagi.
"Untuk Naya, tolong jangan heran ya sama kelakuan suamimu jika sewaktu-waktu jahilnya kumat." Mama terkekeh, Naya hanya mampu tersenyum tipis karena tubuhnya sangat tidak nyaman sejak tadi."Ya udah, kalo gitu kami semua pamit ya. Naya, kita akan ketemu dua hari lagi. Untuk besan, kita akan bertemu saat resepsi akhir bulan nanti."
"Iya, tenang saja. Kita pasti akan bertemu lagi." Bu Sari menyahut.
Setelah selesai berpamitan, Andi dan keluarga segera beredar. Lambaian dari keluarga Pak Mawan menyertai kepergian mereka. Meninggalkan Alif di rumah keluarga barunya, keluarga Naya. Mulai saat ini, dia tidak bisa bertindak sesuka hati lagi. Tidak bisa pergi berkumpul bersama geng semaunya lagi. Kini semua sudah harus ia bagi. Membagi waktu, membagi tempat berteduh, berbagi kasur, berbagi makan dan minum, serta berbagi hal lainnya dalam urusan yang tak dapat disebutkan secara rinci. U know what i mean. Haha...
Disuatu sisi yang tak disadari, sejak tadi Bu Lani memperhatikan dari teras rumahnya. Duduk sambil menatap iri pada Naya bersama suaminya.
"Yeni! Yenii! Sini kamu." Panggilnya pada putri yang selalu ia elu-elukan, yang selalu ia pamerkan pada tetangganya bahwa putrinya sangat cantik. Jauh sekali jika dibandingkan dengan Naya.