Hari yang dinanti-nanti akhirnya telah tiba. Sebuah mobil sedan mewah tampak memasuki sebuah perkampungan yang bisa dikatakan agak terpencil. Sebagian besar warga sana adalah petani, pekebun atau nelayan. Hanya sebagian kecil saja yang bekerja sebagai pegawai. Guru misalnya.
Jadi, ketika melihat sebuah mobil mewah mengkilap memasuki desa mereka, membuat mereka kagum dan terpana selama beberapa saat. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah kecil dan sederhana di mana kiri kanan rumahnya dikelilingi oleh hamparan padi yang mulai menghijau. Membuat sejuk mata ketika melihatnya.
Alif keluar dari mobil. Ia begitu tampan dengan kemeja abu-abu lengan panjang yang ia gulung hingga siku. Celana jeans hitam serta kaca mata hitam yang menambah kadar ketampanan seorang Alif, tak ayal mampu membuat para gadis yang lewat dan melihatnya menganga karena terpukau. Mereka menggigit bibir mereka menahan suara histeris yang bisa saja keluar spontan dari mulut mereka.
Alif menoleh pada mereka, lalu mengedip nakal. Hal itu sontak membuat para gadis itu semakin histeris. Mencak-mencak tidak jelas di tempatnya.
Pletak...
"Aww...kenapa sih Ma?"
"Kebiasaan. Ingat, di depan tu rumah calon mertuamu. Sempat-sempatnya lagi main mata sama gadis lain."
Alif mengerucutkan bibirnya. Mengusap lengannya yang sempat Mamanya pukul. Pukulan Mamanya kelihatannya pelan, tapi sakit lho.
Ayah hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Alif. Ia juga ikut keluar dari sana mengikut istrinya. Mereka cuma pergi bertiga saja. Mama, Ayah, dan Alif sendiri. Naya tidak ikut satu mobil bersama mereka karena ia sudah pulang sejak dua hari yang lalu.
Kabar yang dibawa Naya kepada Kakek dan Neneknya sempat membuat keduanya terkejut. Mereka sempat ketakutan jika saja calon suami Naya bukanlah pria baik-baik. Mereka takut Naya salah memilih calon suami, mengingat bahwa Naya baru beberapa bulan menginjakkan kaki ke tanah Jakarta. Mereka takut Naya ditipu.
Tapi setelah Naya meyakinkannya dan mengatakan bahwa calon suami serta kedua orang tuanya akan ke rumah mereka, membuat Kakek dan Nenek Naya diam. Mencoba meyakinkan diri mereka sendiri bahwa calon Naya adalah pria baik seperti apa yang dikatakan Naya pada mereka.
"Bener nggak ini alamatnya?" Ayah bertanya setelah mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana yang tampak sepi.
"Kayaknya bener. Naya ngasih alamatnya memang di sini." Sahut Alif. Membaca lagi pesan singkat yang dikirim Naya beberapa saat sebelum mereka berangkat tadi.
Mama Dinda bergerak menuju tepian sawah yang menghijau. Menghirup udara segar dari sana.
"Mama kangen Singkawang." Gumamnya.Ayah Andi mendekat. Mengerti dengan perasaan istrinya. Sudah lama sekali mereka tidak kembali ke Singkawang. Terakhir adalah tiga tahun lalu, dimana mereka mendapat panggilan dari Kak long jika Ayah mereka, Kakek Mud sedang sakit parah. Ketika Dinda dan Andi tiba beserta dengan para anaknya, Kakek Mud sudah tak mampu bicara lagi. Dinda sempat menangis meraung ketika akhirnya sang Ayah menghembuskan napas terakhir dalam pelukannya.
Setetes air mata jatuh di pipi Mama Dinda.
"Jangan nangis. Kapan-kapan kita pulang kampung ya? Ajak menantu baru kita sekalian. Lagipula, Kak long, Kak ngah dan keluarga kecilnya bulan lalu udah ke rumah kita kan?""Tapi Mama pengen balik kampung. Berbeda rasanya kalo mereka yang ke rumah kita." Lirih Mama.
"Iya. Nanti Ayah usahain mengosongkan jadwal supaya bisa ke Singkawang."
"Janji ya Yah." Mama mengulurkan kelingkingnya, di sambut Ayah dengan menautkan kelingkingnya.
"Ayah janji."