"...Kapolda metro jaya sudah mengerahkan para anggotanya untuk mencari keberadaan 5 tahanan yang telah berhasil melarikan diri,-"
"Kaak...bantuin bentar dong."
Tssk...
Alif berdecak tertahan. Konsentrasinya buyar seketika dari acara berita yang sedang menayangkan tentang tahanan lapas yang telah berhasil kabur. Ia baru saja mendudukkan tubuhnya di sofa ruang tengah rumahnya setelah seharian sibuk mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan Naya.
Seharian ini Alif menjadi Ayah rumah tangga, menggantikan pekerjaan Naya di rumah karena Naya kuliah hingga pukul 2 sore. Seharusnya jadwal kuliah Naya berlangsung seperti biasa, hanya 2 mata pelajaran dan kadang sudah pulang pukul 11 atau 12 siang. Tapi tiba-tiba salah satu dosen -yang tidak hadir tiga hari lalu-, mengabarkan akan masuk dan mengisi pelajaran pada pukul 12 siang.
Jadi ya, mau tak mau Alif -yang full seharian tidak ada pekerjaan-, dipinta Naya untuk mencucikan pakaian yang sudah ia rendam pagi sebelum kuliah tadi. Alif juga menyapu, mengepel, mencuci piring bekas sarapan, menguras dan menyikat bersih bak mandi, membersihkan toilet dan kamar mandi, membetulkan saluran air pada keran wastafel karena airnya ngandat. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang dan dilanjutkan dengan menjemput Naya di kampus.
Sepulang dari kampus, Alif pikir mereka akan langsung kembali ke rumah dan ia bisa istirahat, tapi Naya malah mengajaknya ke pasar mencari bahan mentah untuk masak makan malam. Tiba-tiba Naya ingin sekali makan sambal goreng pete ketika melihat untaian pete di pasar. Alif bergidik jijik. Ia menjepit hidungnya menggunakan jari telunjuk dan jempolnya, mengusir bau semerbak pete masuk ke rongga hidungnya.
Naya sempat terkekeh melihat suaminya ketika itu. Tapi, Naya tak peduli, yang penting keinginannya untuk membeli pete sudah tercapai. Saat melewati pasar ikan yang sudah dibakar, Alif menarik lengan baju Naya membuat Naya menoleh.
"Ada apa?"
Alif menunjuk ikan bakar dengan mengerucutkan bibirnya.
"Ikan bakarnya udah dingin dan pasti udah banyak kuman-kuman yang nempel di situ. Liat aja tu lalat-lalat udah berkerumun di sana."
Wajah Alif berubah lemas. Padahal ia ingin sekali makan ikan bakar itu. Naya menyadari perubahan wajah suaminya hingga ia jadi tidak tega. Jarang-jarang suaminya meminta ikan bakar. Biasanya pria itu paling anti dengan yang namanya ikan. Mama Dinda juga bilang begitu mengenai ketidaksukaan Alif terhadap ikan. Amis katanya.
Akhirnya sebagai pilihan terbaik, Naya menawarkan akan membuatkannya ikan bakar sendiri di rumah dan akan membeli ikannya di pasar.
Alhasil, di sini lah Alif sekarang. Dengan tenaga yang sudah hampir terkuras, ia beranjak mendekati sang istri di dapur. "Bantuin apa?" tanyanya lemas.
"Bisa bantuin menyiangi ikannya? Aku mau bikin bumbu untuk ikan bakarnya." sahut Naya tanpa menatap wajah suaminya. Dirinya sedang sibuk mengupas kunyit, jahe, bawang putih dan meracik bumbu-bumbu lainnya untuk kemudian ia ulek menggunakan ulekan tradisional.
Alif menggaruk kepalanya bingung. Selama hidupnya, ia tak pernah menyiangi ikan, ayam, daging atau apapun jenisnya itu. Lalu, bagaimana dia bisa membantu Naya menyiangi ikan tongkol super besar itu?
"Gimana caranya? Aku nggak bisa." aku Alif akhirnya.
Naya segera menatap Alif, sedikit tak percaya bahwa pria itu tak tahu menyiangi ikan. Sewaktu Naya masih tinggal di rumah Kakek-Nenek dulu, Kakeknya selalu membantu Nenek menyiangi ikan, ayam atau daging. Jarang sekali Neneknya terlibat dalam hal itu karena Kakek selalu mengambil alih.