Part 6

30.4K 2.6K 77
                                    

Tak terasa seminggu telah berlalu. Maka berakhir sudah waktu liburan Alif. Hari ini dia sudah harus kembali pergi melanjutkan tugas.

Bekerja sebagai Pilot itu bukanlah sesuatu yang 'wah' menurut Alif. Hanya seragam dan gelar saja yang membuat seorang Pilot itu terlihat hebat. Padahal kenyataannya, Pilot sama saja dengan sopir.

Pernah suatu kali Alif ditembak sama seorang gadis yang pernah diberinya harapan karena kedekatan mereka.

Lalu apa tanggapan Alif?

Ia malah memberikan sebuah pertanyaan yang mampu membuat gadis itu diam tak mampu menjawab.

"Andai gue itu Sopir bajaj yang memakai seragam Pilot, apa lo masih mau sama gue?"

Alif memang playboy. Ia kerap mendekati gadis-gadis di luar sana, memberikannya harapan, kemudian ditinggalkan begitu saja. Itu dilakukannya karena Alif masih tidak siap menjalin hubungan yang serius.
Katanya, mau mencari yang sama hebatnya seperti Mama Dinda. Tapi,  wanita seperti Mama Dinda itu sudah sangat langka. Sulit untuk mencari perbandingannya.

Ibarat pepatah, bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Jika beruntung, dapatlah dia. Tapi jika menyerah di tengah jalan, hampalah dia.

"Baju-bajunya udah dimasukin semua, Kak?"

"Belum, Ma. Bentar lagi. Ini lagi betulin dasi. Bantuin dong Maa." Alif mendekati Mamanya, mengulurkan dasi merah maroon bercorak batik kepada sang Mama. Meminta Mama membantunya memasang dasi.

Dasar manja.

"Kemanjaan kamu, ya. Mentang-mentang masih ada Mama yang bisa bantuin. Kalo nggak ada Mama, gimana?" omel Mama Dinda. Meskipun begitu, tangannya tetap terulur untuk membantu Alif memasangkan dasi.

"Ya, minta bantuan cewek Alif aja."

Alif menyengir setelah melihat pelototan Mamanya.

"Udah berapa kali Mama kasih saran, cari istri, bukan malah cari pacar. Kalo udah ada istri kan enak," nasehat Mama.

"Apanya yang bikin enak, Ma?" tanyanya sok polos. Kedua matanya berkedip-kedip menggoda.

Mama melotot galak, kemudian memukul keras pantat berisi milik Alif, geram. Karena Mama mengerti bahwa Alif bukan lagi bocah polos yang tidak tahu apa-apa.

"Sudah sana. Sarapan. Ini udah jam berapa, ni? Makanya semalam jangan keasikan nongkrong sama geng. Ujung-ujungnya bangunnya kesiangan. Semuanya keteteran. Baju, celana semuanya belum ada yang masuk ke dalam koper. Kalo kayak gini terus, Mama benar-benar akan menikahkanmu secepatnya. Umur udah tua, masih nggak bisa dewasa, apalagi mau mandiri?"

Alif menggaruk kepalanya. Leluconnya pagi ini ternyata memancing amarah sang Mama. Hmmm... Mungkin Mamanya sedang PMS.

Umur mau kepala 5 masih belum menopause, 'kan? Hehee..

"Baru sekali kok ngumpul sama geng. Kan jarang-jarang bisa kayak gitu." sahutnya kemudian.

"Ngumpul sih nggak salah, cuma inget waktu dong, Lif. Semalam Mama sama Ayah nunggu sampe tengah malam lho. Tapi kamunya belum juga balik ke rumah. Kan Mama sama Ayah jadi khawatir sama kamu."

Alif diam. Benar sih, dia yang salah. Sudah membuat kedua orang tuanya mengkhawatirkan dirinya karena pulang ke rumah lewat dari tengah malam.

Mama melipat pakaian Alif dengan rapi, memasukkannya ke dalam koper dan menutupnya saat pakaian yang diperlukan sudah masuk semua.

"Sudah selesai. Ayo sarapan."

Mama berjalan terlebih dahulu menuju meja makan. Ketika ia tiba di sana, ternyata ada Arsan dan Aisya sedang menikmati sarapan mereka dalam diam.

Menjaganya  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang