Keheningan terjadi. Suasana di rumah baru yang bahkan belum sempat mereka tiduri, tiba-tiba berubah mencekam dan menegangkan. Kedua tangan Naya bergetar saling memaut. Bahkan ia tak berani mendongakkan wajahnya menatap langsung wajah suami yang ia yakini sedang mengeras menahan amarah padanya.Sorotan matanya terpaku pada objek masalah, dengan kening mengkerut menahan tangis.
"Jawab Naya! Kamu masih berhubungan sama cowok yang udah kasar sama kamu waktu itu? Kenapa dia bisa membelai-belai wajahmu seperti itu?! Jelaskan Naya! Jangan hanya diam!" Sekali lagi Alif bertanya dengan nada membentak. Bukannya menjawab, Naya makin mengkerut ketakutan. Tanpa disadari, air matanya luruh membasahi kedua pipinya.
Alif mendesah frustasi. Ia mengusap wajahnya, lalu duduk di sisi Naya.
"Liat sini." Alif memaut bahu Naya perlahan. Menyuruh Naya menghadap ke sebelah kiri.
Dengan ragu, Naya mengangkat wajahnya. Menatap wajah suaminya dengan linangan air mata. Air mata inilah yang selalu membuat Alif luluh. Ia paling tidak bisa melihat wanita menangis. Termasuk air mata Mama Dinda. Sekasar, seusil, sekonyol apapun Alif, tapi dia tidak pernah membuat wanitanya menangis.
Kalau mantan, itu pengecualian ya. Hehe..
"Ya udah. Nggak apa-apa kalo kamu nggak mau menjelaskannya. Aku berusaha percaya sama kamu. Tapi, aku paling nggak suka kalo kamu ketemu sama dia lagi. Kamu ngerti kan posisi kamu sekarang dimana dan sebagai apa?"
Naya mengangguk.
Alif kembali mendesah lirih. "Maafkan aku udah kasar tadi. Maaf juga karena udah bikin kamu nangis." Ia memeluk Naya. Membuat isakan Naya terdengar semakin memilukan. Ia balas memeluk suaminya. Lalu balik meminta maaf.
"Maafkan aku juga Kak. Aku nggak tau kapan foto itu diambil. Tapi waktu itu Abi pernah menyeretku ke belakang kampus yang sepi, aku digertak di sana. Waktu dia mau menyentuhku, aku berusaha menepisnya. Nggak nyangka kalo dia selicik itu. Dia nggak suka kita menikah Kak. Hiks...aku nggak tau salahku apa sama dia sehingga membuat dia mengangguku seperti ini. Maaf Kak." Lirihnya.
Alif mengeratkan pelukannya. "Iya aku tau. Kalo dipikir-pikir, kamu emang nggak salah dalam hal ini. Kamu dijebak aja sama dia. Kayaknya dia suka sama kamu, tapi pas denger kamu udah nikah, dia jadi frustasi dan terobsesi seperti itu. Hati-hati sama cowok kayak dia. Kamu masih sering ketemu dia di kampus?"
Naya mengangguk.
"Mulai sekarang, kamu kalo ke kampus harus bareng Hani terus atau sama yang lainnya. Pokoknya kamu nggak boleh sendirian. Kalo ada apa-apa, laporin aja sama Ayah."
Naya melepas pelukannya. Lalu menatap suaminya dengan kening mengkerut. Jangan lupakan wajah sembabnya yang jelek itu. Setidaknya begitulah pemikiran Alif menilai penampilan istrinya saat ini.
"Kok Kakak nggak marah atau ngamuk lama-lama gitu pas tau foto itu. Kalo di cerita yang kubaca..."
"Ini bukan cerita Naya. Ini dunia nyata. Kamu ngarep aku marah besar, lalu nampar kamu, jambak kamu, terus berubah dingin berhari-hari, eh kamunya sakit, muntah-muntah terus dapat kabar kalo kamu hamil, lalu kita baikan gitu? Nggak deh. Dunia nyata nggak seribet dan nggak sesimpel cerita fiksi."
Naya mengerucutkan bibirnya. Dia pikir, kehidupan pernikahannya akan berjalan seperti pada cerita-cerita yang ia baca. Ternyata beda banget.
Perjodohan tak semenakutkan cerita kebanyakan. Meskipun mereka menikah karena dijodohkan dengan tujuan tertentu, tapi Naya tidak diperlakukan dingin oleh Alif, yaah meskipun selalu jadi bahan kejahilan suaminya. Malam pertama bahkan tidak ditunda-tunda lagi. Tidak ada kata malu bagi Alif. Menurutnya, kalau sudah halal, kenapa harus ditunda-tunda? Begitulah celetuknya setelah mereka selesai 'bermain' pada malam pertama mereka kemarin. Makanya begitu masuk kamar, Naya langsung diterkam. Bahkan tanpa rayu-rayuan mesra sebagaimana pasangan pengantin baru kebanyakan.