"Sel-sel kanker pada Mrs.Malfoy sudah mulai menyebar. Kecil kemungkinan dia akan bertahan."
Draco menggeram. Tangannya terkepal di masing-masing sisi tubuhnya. Disekelilingnya ada kedua orang tua Hermione yang terduduk lemas. Harry, Ginny, Blaise dan juga Narcissa.
"Tidak banyak pasien yang seperti Mrs.Malfoy bertahan selama ini."
Jantung Draco seketika berdetak kencang. Tetes demi tetes air mata sudah mulai membasahi pipinya. Ia frustasi. Ia stress. Ia gila!
"Ta-tapi, tapi masih ada harapan 'kan? Istriku masih bisa diselematkan 'kan?"
"Aku tidak yakin Mr.Malfoy. mungkin-"
"MUNGKIN APA? HA? MUNGKIN APA?! KALIAN SAJA YANG TIDAK BECUS!"
"Malfoy, tenanglah.." Harry dan Blaise menghampiri Draco dan menahannya agar tidak menyerang seorang dokter.
"LAKUKAN APAPUN AGAR ISTRIKU SEMBUH! BERAPAPUN AKAN AKU BAYAR! BAHKAN RUMAH SAKIT INI BISA AKU BELI!!"
"Draco! Ini rumah sakit. Kau harus tenang!"
"PEDULI SETAN INI RUMAH SAKIT ATAU APAPUN ITU! MEREKA ITU MEMANG TIDAK BECUS!"
"Malfoy, sudah. Kau seperti ini tidak membuat Hermione sembuh!" Harry bersuara dengan pelan namun tegas.
"LALU AKU HARUS APA?! HARUS APA?! ISTRIKU SEKARAT DIDALAM SANA, DAN KAU MENYURUHKU TENANG?!"
"Draco, cukup!!!" Narcissa mendatangi anaknya lalu menyuruhnya untuk duduk. Draco pun duduk di kursi tunggu depan ruang rawat Hermione. Ia menatap mata Narcissa. Lalu mengalami perubahan emosi secara drastis. Draco tiba-tiba menangis sembari memegangi kepalanya. Semua orang yang melihatnya seakan bisa merasakan kesakitan putra tunggal Malfoy itu. Apalagi Narcissa. Ia tidak pernah melihat Draco yang sebegini frustasinya. Air mata ikut meleleh dari matanya.
"Hermione.. hermione." Racaunya dibalik isakan. Memori bersama Hermione seperti berlarian bolak-balik dikepalanya. Awal mereka bertemu, Hermione adalah gadis kecil keriting yang sok tahu. Yang selalu mengalahkannya pada bidang akademik. Hermione yang sangat suka buku. Bayangan wanita itu yang sedang fokus membaca buku di kamarnya yang paling menyakitkan.
"Kau harus kuat. Demi Hermione." Kata Narcissa seraya membelai rambut anaknya.
Draco mengusap air matanya. Ya, Ia harus kuat. Demi Hermione.
Draco berdiri dan langsung masuk kedalam ruangan Hermione. Ia memastikan sekali lagi agar tidak ada air mata yang terlihat. Ia duduk di kursi samping ranjang Hermione. Wanita itu sedang tertidur. Wajahnya damai bak malaikat.
"Kita pergi dari sini ya, Mione? Kita pindah rumah sakit yang akan merawatmu lebih baik sampai sembuh."
"Di perancis, ada rumah sakit yang sangat bagus. Kalau tidak juga menyembuhkanmu, kita ke Jerman. Disana ada rumah sakit khusus kanker terbaik. Kalau tidak juga berhasil, kita cari rumah sakit lainnya. Bahkan kalau perlu, seluruh rumah sakit didunia ini akan kita datangi."
"Mau ya, Mione? Kau pasti sembuh."
Draco menatap wajah terlelap Hermione. Ia kembali menangis. Menyembunyikan wajahnya pada lekukan tangannya. Namun tiba-tiba Ia merasa rambutnya dibelai. Seketika Ia langsung mengangkat kepalanya. Dilihatnya Hermione yang menatapnya dengan berkaca-kaca.
"Jangan nangis.." kata Hermione dengan suara seperti bisikan. Draco segera mengelap air matanya.
"Mione? Kamu sudah bangun? Aku kira kamu masih tidur." Katanya dengan senyum paksaan.
Hermione tidak menghiraukan perkataan Draco. Ia terpaku dengan mata Draco yang memerah. Sungguh hatinya sakit melihat Draco yang seperti ini. Ia telah membuat pria ini menangis. Betapa buruk dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love [DRAMIONE]
FanfictionSequel of One Month In Muggle World. bingung kenapa nggak ada nyambung-nyambungnya? Baca aja sampe selesai. Entar juga ngerti :p ... [COMPLETED] Karna, jika cinta pertama bukankah takdirku, maka cinta terakhirlah yang akan menemaniku di surga sana...