3

1.3K 47 1
                                    

SINAR matahari yang memasuki sela-sela jendela membangunkanku dari ke tidaksadaranku. Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Entah tidur atau pingsan.
Aku tidak ingat apa-apa lagi.
"Aduhh...." aku merasakan sakit sekujur tubuhku saat itu. Lalu, kulihat sekelilingku.... Aku berada di sebuah ruangan yang bernuansa hitam-putih. Dinding berwarna putih. Beberapa perabotan terbuat dari kayu berwarna hitam dan campuran Dark . Sebuah ruangan dengan konsep minimalis. Lalu, mataku tertuju pada seorang lelaki yang sedang tidur di sofa di sudut ruangan ini. Siapa dia?
Ini Dimana? Bagaimana aku bisa sampai ke sini? Aku merasa asing dengan semuanya. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Tetapi semakin aku mengingatnya, kepalaku semakin pusing dan pandanganku menjadi kabur.
"Aduh......" aku kembali merasa kesakitan.
"Tiba-tiba, sseorang yang sedang tidur itu terbangun dan tanpa tedeng aling-aling langsung menghampiriku yang masih setengah duduk sambil memegang kepalaku.
"Syukurlah...... Akhirnya kamu sadar juga....." katanya.
Kemudian dengan hati-hati, ia memegang punggungku dan merebahkan badanku kembali dalam posisi tidur. "Kamu belum sembuh benar". Jangan banyak bergerak dulu, ya?
Lanjutnya.
"Aku dimana? Dan kenapa aku bisa sampai disini?"
"Tadi malam, aku menemukan kamu pingsan di pinggir jalan dalam kondisi babak belur.....," katanya sambil mengompres keningku.
Aku mencoba menutup mataku sambil mengingat-ingat kejadian tadi malam. Tidak banyak yang bisa aku ingat. Yang ku ingat hanyalah kerlap-kerlip cyberlight, dentuman musik, napas-napas yang bau alkohol, asap rokok, dan acara lelang yang di menangkan oleh Novi seharga dua juta setelah itu, ada keributan dan.....???? Hanya itu yang bisa kuingat.
"Uhhhh... Aduh....," aku mengaduh.
Dengan hati-hati, ia meletakkan kain kompresan di luka lebamku. "Lalu, kamu aku bawa ke mobilku dan sekarang kamu berada di apartemenku."
Ada jeda beberapa saat. Lalu... Aku menatap matanya dan ia juga menatap mataku. Aku melihat binar ketulusan di sana. Kamu tahu kan bahwa selain lidah, mata adalah indra yang tidak bisa bohong?
"......."
"......."

Dengan telaten, ia mengambil kain kompresan, memerasnya, dan meletakkannya kembali di jidatku. Demi Tuhan, aku belum pernah di perhatikan seperti ini sebelumnya. Maksudku, oleh seseorang lelaki seperti itu. Tiba-tiba, aku teringat bahwa aku belum mengenalnya.
"Kamu siapa?" yang aku dengan nada setengah meringis
"Oh ya, namaku Ardo. Ardo Praditya. "Lalu, ia mengulur kan tangan nya kearahku
"Reino Regha Prawiro. Panggil aja Rei," kataku sambil membalas uluran tangan itu
Genggaman tangan yang kokoh.
Aku pernah membaca suatu artikel di majalah tentang karakteristik seseorang dari jabatan tangannya.

Jika ia mengenggeman tangan kita dengan kokoh, ia berarti ia mempunyai cita-cita yang tinggi dan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan cita-citanya itu. Orangnya tidak mudah menyerah, mempunyai motivasi dan inovasi yang tinggi, serta tipe perfoksionis jika ia menggenggam tangan kita biasa aja, tipe ini termasuk kategori romantis dan tidak suka yang berlebih-lebihan. Dan jika ia menggenggam tangan kita dengan lemah seperti tanpa tenaga, tipe ini termasuk tipe yang penyayang, cinta kedamaian, lebih memilih sugesti dari motivasi. Kelemahannya, tipe ini mempunyai semangat juang yg rendah dan cenderung membiarkan semua terjadi apa adanya.

Dan, Ardo memiliki ciri-ciri yang pertama........

"Ya sudah. Aku mau beli sarapan di depan. Sekarang kamu istirahat aja dulu. Jangan mikirin yg macam-macam. Kamu aman di sini, katanya sambil menyelimuti ku. Dan, ia pun berlalu dari hadapanku.
Lalu, mataku mengelilingi seluruh bagian ruangan ini. Di salah satu sudut, didekat jendela, aku melihat botol-botol minuman dari berbagai merek terpajang di sana. Mulai dari Galliano, Black Label, jack-D,Chivas Regal, Honessy, VSOP, dan Red Label pun terpanjang hebat di atas rak kaca itu. Ternyata, ardo doyan minum juga. Ya setidaknya, botol-botol kosong itu adalah buktinya.

Tidak lama , kira-kira lima belas menit kemudian, ia datang dengan membawa sebuah bungkusan. Entah apa isinya......
"Ini bubur ayam langgananku. Enak, deh. Kamu pasti. Apa lagi kamu sedang sakit. Belum boleh makan yang keras-keras," katanya sambil membuka bungkusan itu dan memasukkannya ke dalam mangkuk.
"Terimakasih, Do, kamu sudah baik kepadaku."
Ardo mengangguk pelan dan kemudian tersenyum. Rona ketulusan terpancar dari tatapan matanya itu. Lalu dengan hati-hati, ia menyukaiku. Sesuap demi sesuap bubur ayam memasuki tenggorokanku.Hmmm....., ternyata enak juga bubur langganan ya.
"Gimana? Enak nggak buburnya?"
"Ye......,kamu mah kelaparan. Makanya enak..... Hmmmmm...," dan dan ya.
Aku tersenyum sedikit.
"....."
"......"
"......."
"Oh ya, kamu masih kuliah atau...?
"Udah kerja."
"Oo...... Dimana?"
"Hehehe..... "Ardo cuma cengar-cengir tanpa menjawab. "Mmm..." lagi dan untuk sekian kalinya, bubur itu masuk ke mulutku, melalui sendok tangannya. "Oh ya, kamu doyam mabuk juga?" tanyaku sambil melihat arah pajangan botol minuman itu.

"Ohhh, itu..... Nggak. Aku nggak pernah minum, apalagi mabuk."
"Itu?"
"Hanya koleksi. Teman-temanku yang sering minum. Aku cuma mulung botolnya buat di lajang."
"Oooo"
Sejak saat itu, aku merasakan ada yang berbeda dalam hidupku. Aku benar-benar menemukan teman dan sahabat dalam arti yang sebenarnya. Ardo memberikan segala perhatian ya secara tulus kepadaku. Tanpa ku minta, ia menyuapiku makan, mengambilkan minum, mengompres luka lebamku. Membompongku kalau hendak ke kamar mandi, sampai menemaniku melewati malam-malam yang sepi dengan hanya ngobrol-ngobrol nggak jelas. Sederhana, sih. Tapi, semuanya terasa tulus dan tidak dibuat-buat. Entahlah aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku saat itu. Antara senang atau....? Yang aku tahu, aku nyaman berada di sisinya.

📑

Malam harinya di balkon

AKU duduk bersebelahan dengan ardo sambil menghadap keluar apartemen. Dari atas sini, aku juga bisa melihat keseluruh bagian kota jogja. Cuma sebuah meja yang menjadi jarak antara kami.
"Ardo, seingatku, kenapa kamu mau menolongku waktu itu?. Padahal, kamu belum kenal aku. Bisa saja aku orang jahat yang ingin merampok kamu."
Ardo tidak menjawab. Ia memilih berpikir sebelum menjawab pertanyaanku. Pernyataan nggaknpenting lebih tepatnya. "He-em...," ia mendehem dan memulai menyalakan sebatang rokok mentholnya"apa harus ada alasan untuk menolong seseorang?" ternyata, ia menjawab pertanyaanku dengan pernyataan. Pandainya Ardo."lagian, aku pernah lihat kok sebelumnya. Dan aku yakin kamu bukan orang jahat."
"Oh,ya? Dimana?"
Ada jeda beberapa saat.
"Kamu pernah di lelang oleh seorang perempuan seharga dua juta, bukan.?" lanjutnyq dengan nada menghakimi.
"Jadi, kamu anggota dari cowok-cowok aneh itu?"
"Bukan"
"Lalu"
"Aku ada di sana. Diantara orang-orang yang melihat pelelangan itu. Waktu itu, aku sempat berpikir bahwa kamu akan celaka jika berurusan sama cowok-cowok itu. Dan ternyata benar. Aku menemukan mu tergeletak tidak sadarkan diri di pinggir jalan. Karena tidak ada alasan mainlah makanya aku menolongmu."
"......"
"......."

"Ohhh...., iyaaa.... Aku baru ingat..... Aku dipukul sampai babak belur karena mereka gagal kencan denganku"
"Mereka juga bukan orang baik buat kamu. Mereka selalu membuat ulah. Sudah beberapa kali aku melihat mereka."
"Oh, ya? Duh, mimpi apa aku kemarin bisa-bisanya ketemu ama mereka?"
"Ya nggak harus mimpi baut ketemu orang kayak begitu. Satu kejadian itu tragedi. Tetapi kejadian sama yang berulang itu kebodohan."
"Hmmmm......oke!"
Wow! Begitu dewasa nya Ardo. Malam ini, ia sukses membuatku kehabisan kata-kata. Siapa sebenarnya dia? Diplomat atau apa ? Pertanyaan itu hanya ter arahan di ujung lidahku. Tetapi, siapapun ia, terlanjur hadir dan menambah wawasanku bahwa umur bukanlah tolak ukur kedewasaan seseorang.
Ardo Praditya. Dua puluh lima tahun. Tetapi, sama dewasanya dengan umur empat puluh tahu.

📑

SUDAH tiga hari aku tidak pulang ke kos. Akhirnya dengan diantar Ardo, akupun pulang ke kos dengan alasan kondisi kesehatan aku sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Pokomya, kalau kamu laper atau apa aja. Kamu harus hubungi aku. Jangan sungkan-sumgkan!!!!" itu pesannya ketika ia mau pergi.
"Siap, bos!" jawabku.
"Dan ingat, jangan terlalu banyak beraktivitas dulu. Kesehatan lebih penting. Kalau bisa, jangan dugem,ngerokok, dan begadang dulu,lah.... Bad habiy, tuh.... Ya seenggaknya, sampai kamu benar-benar sembuh. Lagian, kamu bilang bentar lagi mau UTS, tho? Konsen aja pada pelajaran. Oke?"
"Sipp.....!"
"Yowes, aku pulang dulu, ya?"
"Makasih banyak ya, Do, atas semuanya. Maaf kalau...."
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku. Ia sudah menyela, "sudahlah...."
"Oke...... Sampai ketemu lagi ya, pak? Hati-hati.....,"
Kataku sambil menutup pintu mobilnya dan akhirnya ia, pun berlalu di hadapanku.

Thanks God telah kau pertemukan aku dengan seseorang seperti Ardo. Lalu, aku kembali ke dalam kamarku yang tampak berantakan seperti biasa. Tiba-tiba, aku teringat pada kata-katanya barusan. "Lagian, kamu bilang bentar lagi UTS, tho ? Konsen saja pada pelajaran. Oke?"
Oh, shiit!!! Aku baru sadar bahwa bahan-bahan ujianku belum lengkap. Lalu, aku buka kardus tempat aku biasa menyimpan handout mata kuliah. Tiba-tiba, sebuah kertas terjatuh di kakiku.

Selembar foto.
Foto Daddy,Mosye,dan aku.....

ATTO SECOND



Reino Regha Prawiro  [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang