AKU tidak ingin macem-macem. Aku hanya ingin minta maaf ....... Maaf yang tulus......
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk membalas SMS Ardo dan menerima ajakannya untuk ketemu di Black Canyon cafe malam harinya. Awalnya, aku sempat ragu. Ragu karena sebenarnya aku belum terlalu siap untuk bertemu dengannya hari ini. Tetapi, ternyata rasa kangenku melebihi rasa tidak siapku. Bagaimanapun juga, Ardo masihlah pacarku dan selama itu pula, apapun yang terjadi padanya masihlah tanggung jawabku.
"iya...... Sama-sama. Waktu itu, aku cuma masih kaget aja. Aku juga minta maaf, maaf ya...... Ardo mengangguk dan mengelus-elus punggung telapak tanganku sambil tersenyum. "oh ya, aku sudah terim titipannya dari Mas didit. Bagus banget bukunya. Aku suka..."
"oh, ya? Aku kepikiran aja pengen memberikan sesuatu buatanku sendiri untuk kamu. Karena selama ini, kamu udah begitu banyak memberi buat aku. Yaudah. Aku coba buat semacam diary kecil gitu. Aku tulis sendiri, trus aku cetak foto-foto kita yang bagus.... Diary-nya di simlan ya. Jangan dibuang."
"nggaklah, Do. Nggak mungkin aku buang. Buatan pacarku masa iya aku buang? Aku suka foto kita berdua di gunung Lawu waktu itu."
"iya...... Kalau aku suka banget ama foto shilhoutte kamu yang dipinggir jendela hotel di sarangan."
"kamu yang jago ngambilnya....hehehehe....
Satu per satu es mulai mencair. Suasana yang awalnya sempat kaku akhirnya berangsur angsur kembali seperti semula. Aku mulai terbiasa dengan ini.
"oh ya, kamu kemana aja selama dua minggu ini? Aku tu cariin kamu. Aku takut kamu ninggalin aku gitu aja."
"sebenarnya, Aku nggak ke mana-mana, kok. Aku di kos Aby aja."
"Tapi kata Aby....? Owww.... Kalian bersekongkol, ya...."
"hehehe...., maaf... Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri aku. Jujur, aku masih sock aja sama yang kemarin...." aku bicara hati-hati, terutama untuk masalah "yang kemarin" itu."Tapi demi tuhan, aku kawatir ama kamu ampe tiap malam aku ke kosan kamu. Aku kira kamu bakalan pulang. Aku takut terjadi sesuatu ama kamu."
Demi tuhan aku khawatir ama kamu. Itu masihlah Ardk ku yang dulu. Aku tersenyum. "semuanya baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja. Oh ya, ada cerita ap selama dua minggu ini.?
"sebetulny aku pengen nanya gini ke kamu, kamu nggak khawatir padaku."??
"nggak.nggak sama sekali," aku menjawab mantap.
"....." terlihat sedikit kekecewaab di wajah Ardo.
"aku yakin kamu akan baik-baik aja karena namamu selalu ada dalam setiap doaku."kali ini, aku yakin aku tidak salah lihat. Aku melihat senyum berpendar di sudut bibir Ardo.
"aku sayang kamu, "Ardo berkata lirih.
Saat itu, aku ingin sekali minta maaf rasanya. Aku ingin mengakui semua dosa yang telah kulakukan padanya. Tapi, aku rasa itu adalah suatu keliruan terbesar mengingat ini adalah pertemuan pertama sejak dua minggu tanpa kontak sama sekali. Aku takut nantinya malah merusak suasana yang telah kubangun.
Tidak lama kemudian pesanan makan malam kamipun diantar oleh pramusaji.
Makan malam ini rsanya sedikit berbeda. Ada rasa canggung, rasa bersalah, rasa rindu, semuanya campur aduk menjadi satu. Walaupun demikian, aku melihat rasa puas dalam tatapan mata Ardo. Semacam ada rasa yang terobati ya. MAtanya bicara seperti itu. Berkali kali, ia tersenyum sambil menatap mataku. Aku tahu ia telah menemukan sesuatu yang hilang dari dalam dirinya dan sesuatu itu mungkin saja aku.
Melihat Ardo dengan ekspresi itu malah membuatku jadi kasihan. Kasihan karena aku tahu beban yang di pikul Ardo saat ini tidaklah ringan. Dan...., dan Ardo benR-benar terlihat lebih kurus dari sebelumny. TULANG Pipinya yang tegas terkesan lebih menonjol ditambah dengan kantong matanya yang sedikit menghitam. Aku tahu itu artiny apa. Artinya, tidak hanya aku yang tersiksa dengan.keadaan seperti ini, tetapi juga mulai bersiap-siap. Bersiap untuk yang terburuk sekalipun.
Setengah jam kemudian, makan malam itu pun selesai. Aku dan.Ardo mulai menyalakan Rokok.
"hmmm..., jadi gimana?" aku memulai pembicaraan setenang mungkin. Jujur, aku tidak tahu harus dengan cara apa memulainya selain dengan kata "jadi gimana".
"Gimana apanya?"
Aku rasa dia mulai pura-pura bodoh. "ya dengana hubungan kita. Aku rasa ini adalah pertanyaan yang sama dari semua orang jika berada di posisiku saat ini."
Aku tahu itu bukanlah orang bodoh. Ia pasti sudah tahu keman arah pembicaraanku. Tetapi, yang terjadi kemudian adalah ia menghembuskan asap rokoknya kuat kuat ke atas dan langsung mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah batang itu, lalu menutup matanya dengan kedua telapak tangannya dan menggeleng gelengkan kepalanya.
"aku mohon jangan putusin aku sekarang.... Aku belum siap. Bahkan, aku belum berpikir bagaimana melanjutkan hidup tanpamu."
"uhuk.....!" aku benar-benar keselek kali ini. "Heyyy....... Aku nggak mutusin kamu.....bukannya kita janji untuk menghadapi ini berdua?" aku meneguk minumanku."Trus, jawaban seperti apa yang kamu inginkan"
"maksud aku, apa yang dapat kita lakukan dengan sisa waktu kita?"
"sisa.waktu kita? Kalau gitu aku akan membatalkan perjodohan itu. Aku tidak mau ada sisa waktu diantara kita. Aku tidak bisa menjalaninya."
"No...! KAmu jangam gila."
"tidak. AKu tidak gila"
Itu bukan solusi. Itu hanya akan nambah masalah."
AKu bingung aku seperti tidak mengenal Ardo kali ini.
"aku masih sayang sama kamu, Rei."
"aku juga,tapi kalau kamu membatalkan perjodohan itu, sama saja dengan kamu mempermainkan kedua orang tuamu.(bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reino Regha Prawiro [END]
Romantizm[Selesai +18 Privasi]✓ Follow Me Ketika sang surya pagi menembus sela-sela jendela, aku tersadar, ternyata aku tidur dalam dekapannya. Aku pun merapat sama eratnya. Di sini, di balik dadanya, aku dapat melihat sinar matahari pagi membelai wajahnya...