Nata menatap punggung Ednan yang melangkah meninggalkannya. Segera dia mengambil kembali ponselnya setelah memastikan lelaki itu hilang ditelan pintu. Ditempelkannya ponsel yang ada di tangannya ke telinga.
"Hallo, Ben," katanya yang tidak mendapat respon. Kening Nata berkerut, diturunkannya ponsel itu dengan bingung. "Ternyata sudah mati. Apa Ben marah?" tanyanya yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Dia tahu dirinya salah, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa jika dia tidak bisa mencintai Ben. Memang pada kenyataannya cinta tidak bisa dipaksa, bukan?
***
Ednan masih sibuk menekuri beberapa berkas yang sudah mengantri di mejanya. Satu minggu tidak berada di kantor benar-benar membuat pekerjaannya menjadi menumpuk. Hingga suara interkom di sebelahnya menginterupsi.
"Ada apa, Lin?" sapanya pada Lina dari seberang dengan mata yang masih tidak lepas dari berkas-berkas di depannya.
"Maaf Pak, mengganggu. Ini ada Pak Ricky yang ingin bertemu dengan Bapak," kata wanita itu dengan sopan.
Ednan menghentikan kegiatannya. Pikirannya kembali pada percakapan mereka pagi itu. Pagi dimana Ricky mengakui perasaannya untuk Nata. Benar-benar kejutan yang membuat Ednan marah. Siapa yang tidak akan marah, Sahabatnya sendiri diam-diam menaruh hati pada istrinya. Sungguh, tidak bisa dimaafkan. Tapi jika melihat kedekatan Ricky dan Nata dulu memang tidak heran jika lelaki itu menaruh hati pada Nata. Mengingat sikap Nata yang bisa dengan mudah mengikat siapa saja.
"Biarkan dia masuk," ucapnya pada akhirnya. Sepertinya dia memang punya hutang untuk menyelesaikan masalah ini dengan lelaki itu.
"Baik, Pak," ucap Lina sebelum Ednan mengakhiri panggilannya.
Ednan berganti sibuk menekuri pikirannya. Entahlah dia benar-benar merasa bingung untuk saat ini. Bingung apa yang harus dia lakukan pada sahabatnya. Bingung dia harus marah atau memaafkannya. Hingga suara ketukan mengalihkan pandangannya.
"Masuk," ucapnya dengan mata menatap nyalang pintu yang lurus di depannya.
Hingga seorang lelaki tampan muncul dari balik pintu. Ricky melangkah dengan santai menghampiri Ednan yang menatapnya dengan marah. Rahang mengatup dengan mata menatap nyalang. Tapi, dengan santainya Ricky mendudukan pantatnya ke kursi depan meja Ednan.
Ednan menatap Ricky tajam, "Ada apa kau datang kemari?" tanyanya dingin. Dia masih belum bisa mengontrol emosinya saat bertemu sahabatnya itu. Rasanya terlalu sulit dipercaya, jika sahabatnya ini diam-diam menusuknya dari belakang.
Lagi, dengan gaya santainya Ricky menyandarkan punggungnya. "Bukankah waktu itu aku sudah bilang, jika kita perlu waktu untuk bicara."
Ednan mendengus, mencemooh. "Katakan apa tujuanmu?"
Ricky memberikan cengirannya, "Kau terlalu tergesa-gesa, Ed."
Ednan semakin mengeraskan rahangnya. Amarahnya bisa benar-benar memuncak jika Ricky terus bersikap santai seperti ini. Bukankah lelaki ini seharusnya minta maaf padanya karena telah menaruh hati pada istri sahabatnya sendiri. "Tidak usah banyak bicara. Cepat katakan apa tujuanmu datang kemari," ucap Ednan semakin tidak sabar.
Ricky menegakan badannya, "Apa kau masih menganggap ucapanku padamu waktu itu serius?" ucap Ricky yang membuat Ednan bingung. Seketika tawa Ricky berderai, "Ayolah, Ed. Kau tahu bagaimana aku? Mana mungkin aku menyukai istri sahabatku sendiri. Tapi aku tidak menyangka kau bisa termakan omonganku dengan sangat mudah," ucapnya lalu tawanya kembali berderai semakin keras.
Kening Ednan berkerut. Dia benar-benar bingung dengan ucapan sahabatnya ini, "Apa maksudmu?" dia kembali berpikir sejenak sembari melihat polah Ricky yang semakin keras menertawakannya, "Jadi, selama ini kau-?" Ednan menjeda ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Our Baby ✔
Romance[C O M P L E T E] Apalah artiku tanpa kalian, readers :* Selamat datang dicerita ribet yang melow Cerita lengkap... Silahkan mampir jika penasaran, jangan lupa voment jika kalian suka sama ceritanya