Part 18 | Keputusan

225K 10.5K 240
                                    

Ben melirik wanita yang hanya diam di sampingnya dengan cemas. Sesekali Ben bisa melihat betapa berat tarikan napas Nata. Namun, tidak setetes air mata pun yang mengalir dari pelupuk matanya. Inilah yang membuatnya merasa lebih cemas. Dia akan lebih tenang melihat Nata menangis tersedu mencurahkan semua kesedihannya dari pada hanya diam memendam segalanya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Ben pada akhirnya setelah sedari tadi dia menahan pertanyaannya, takut jika hal ini akan membuat Nata merasa semakin sedih.

Nata mengalihkan pandangannya dari jendela. Ditatapnya lelaki di sampingnya dengan mata sendunya, "Aku tidak apa-apa Ben," jawabnya dengan senyum miris.

Ben tidak bertanya lebih lanjut. Dia kembali mengalihkan matanya menatap jalanan di depan. Belum waktunya bertanya banyak hal pada Nata. Begitupun dengan Nata yang kembali mengalihkan matanya menatap ke luar jendela tanpa berniat berbicara lebih lanjut pada Ben. Saat ini dia hanya ingin menelaah kembali masalah yang sedang dialaminya.

***

"Istirahatlah. Aku akan keluar sebentar," ucap Ben sembari membukakan salah satu pintu kamar yang ada di apartemennya.

"Terimakasih Ben," jawab Nata sebelum melangkah masuk ke dalam kamar itu.

Ben tersenyum sekilas lalu menutup pintu itu dari luar dan meninggalkan Nata sendiri dalam kamar. Nata kembali melangkahkan kakinya menuju tempat tidur, lalu meletakkan bokongnya di atas ranjang. Matanya beralih menatap bayangannya dari pantulan kaca. Wajahnya terlihat pucat dengan mata yang sendu. Pancaran kesedihan benar-benar tergambar jelas di sana.

Namun, tidak setetes air mata pun yang mengalir dari pelupuk matanya. Nata mengelus perut besarnya yang tertutup gaun berwarna pink pudar dengan sweater berwarna putih. "Apa yang harus mama lakukan sekarang sayang?" ucapnya pada buah hati di dalam perutnya.

Dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Keputusan apa yang harus dia ambil. Haruskah dia meninggalkan Ednan dan merelakannya untuk wanita lain. Sanggupkah dia?

Lagi, Nata menghela napasnya. Kembali terngiang kenangannya bersama Ednan. Kenangan-kenangan manis yang begitu banyak mereka rangkai hingga membuat sebuah impian yang utuh. Menerbangkan Nata pada harapan yang luar biasa tinggi, hingga dia tidak sadar jika semakin tinggi dia terbang maka badai yang menghadang juga akan semakin besar. Hingga akhirnya kini dia hanya sebuah serpihan yang hancur karna badai besar yang menghantamnya hingga ke dasar jurang.

Diangkatnya ponsel yang sedari tadi berada di genggamannya. Dibukanya beberapa panggilan tak terjawab yang tertera di sana dan semua berasal dari satu penelpon, Ednan. Nama itu berderet manis memenuhi layar ponselnya. Apa dia harus memberi tahu dimana dia berada pada lelaki itu?

Nata tahu Ednan memang bersalah. Meski tidak sepenuhnya ini adalah salah lelaki itu. Bagaimana pun dirinya sudah ikut andil dalam masalah ini. Dari awal dia tahu jika Ednan memang milik wanita lain. Jadi dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Ednan atas sakit yang dia terima saat ini. Lagi pula saat ini dia masih berstatus istri Ednan. Bukankah sudah sepantasnya dia memberitahu suaminya -atau lebih tepatnya ayah dari bayinya-, dimana dia berada. Bagaimana pun lelaki itu berhak tahu.

***

Ednan memukul keras kemudinya sembari mengeluarkan umpatannya. Dia sudah berusaha mengejar mobil yang membawa Nata pergi, namun sayang dia kehilangan jejaknya. Dan lagi sedari tadi dia menghubungi Nata, namun wanita itu tidak juga menjawab panggilannya.

"Sial!" lagi-lagi Ednan mengumpat. Sebenarnya kemana lelaki itu akan membawa Nata pergi?

Bunyi ponselnya yang berdering segera mengalihkan perhatiannya. Berharap Nata yang menghubunginya. Dirogohnya ponsel yang berada di kantong jasnya. Benar, nama Nata yang tertera di layar membuat Ednan segera menggeser tombol hijau dan membawanya ke telinga dengan penuh kelegaan.

Because Our Baby ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang