Part 28 | Aku Akan Menunggu

221K 10.6K 167
                                    

"Minumlah."

Jane menatap uluran gelas berisi air putih yang disodorkan ibunya dengan tatapan sendu. "Aku tidak haus, Mom," tolaknya dengan suara parau.

"Bohong kalau kau tidak haus. Kau sudah menangis selama berjam-jam. Sekarang, pasti tenggorokanmu terasa kering dan menyakitkan. Ayo, minumlah," bantah ibunya, cemas.

"Ini tidak sebanding dengan rasa sakit hatiku, Mom," ujarnya keras kepala. Jane melemparkan tubuhnya, tergelak dengan posisi miring dengan berbantalkan sebelah tangan yang diluruskan.

Ibunya menghela napas,  lantas dia berjalan ke arah nakas dan meletakan gelas itu di sana. "Mommy dan Daddy harus keluar sebentar, ada undangan pesta yang harus kami hadiri. Dan selama Mommy pergi, Mommy tidak mau mendengar kau mengamuk dan menghancurkan kamarmu lagi."

"Mulai sekarang bersikaplah dewasa, Jane. Lelaki bukan hanya Ednan saja di dunia ini, masih banyak yang lain. Kau harus bisa melupakannya, dia sudah beristri bahkan memiliki anak. Kau harus ingat itu."

Setelah mengatakan kata-katanya, wanita paruh baya itu melenggang dengan anggunnya keluar dari kamar Jane.

Jane menghela napasnya memejamkan matanya yang terasa perih karena terlalu banyak menangis. Mudah memang mengatakan untuk melepaskan, namun begitu sulit untuk dilakukan.

***

Sudah dua hari lamanya Ednan mengurung diri di dalam kamar. Aroma alkohol menguar begitu pekat memenuhi ruang yang tertutup begitu rapat. Bahkan jendela dan gordennya masih tertutup, tidak membiarkan sekelebat cahaya matahari menelusup masuk. Botol minuman tampak berserakan dimana-mana begitu pun dengan putung rokok.

Suara ketukan di pintu, membuat Ednan menggeliatkan badannya yang terkulai di lantai. Rambut acak-acakan, dengan kaos hijau lumut dan celana jeans dari dua hari yang lalu masih setia menempel di tubuh atletisnya. Sungguh, terlihat begitu mengenaskan.

Perlahan mata birunya terbuka. Mengernyit, Ednan menekan kepalanya yang terasa bedenyut nyeri. Dengan gerakkan malas Ednan mendudukkan tubuhnya dengan bersandar di tepi ranjang. Matanya beralih menatap pintu yang terus mengelurkan suara ketukkan.

"Tuan?" suara panggilan itu, terus saja terdengar dengan ketukkan pintu yang tak kunjung berhenti.

Ednan hanya menghela napasnya. Menekuk kedua kakinya, dengan tangan saling bertaut di depannya. Seketika kepalanya tertunduk seperti tidak memiliki tenaga.

"Tuan?" suara lelaki itu kembali terdengar dari luar. Namun Ednan masih tidak menghiraukannya.

Hingga sebuah suara yang sangat familier di telinganya terdengar, "Buka pintunya, Ed."

Suara itu, terdengar seperti suara Ricky. Tapi benarkah lelaki itu menyusulnya sampai sejauh ini? Ednan tetap tidak mengindahkannya. Dia tetap menatap kosong ubin yang terasa begitu dingin itu.

"Buka pintunya, Ed!" seru suara itu lagi, dengan gedoran yang semakin keras.

Ednan mengernyit, sepertinya memang benar itu suara Ricky. Meski sudah membenarkan pemilik suara itu, namun tidak mengubah niat Ednan untuk segera membukakan pintu. Dia masih tetap setia dengan posisinya. Perlahan dia menutup matanya, menyandarkan kepalanya pada tepi ranjang.

Dari balik pintu, Ricky menatap geram pintu yang tak kunjung terbuka di depannya itu. "Aku tahu kau mendengarku, Ed. Cepat buka pintunya!" geramnya sembari menggedor pintu dengan tidak sabar.

"Dia tidak akan membuka pintunya," suara bariton yang terdengar begitu santai namun menjengkelkan itu, membuat Ricky menoleh ke belakang punggunya. Di sana berdiri dengan gagah lelaki berbadan atletis dengan paras tampannya. Mata gelapnya yang tajam dengan rambut kecokelatan, serta jambang tipis terlihat begitu maskulin.

Because Our Baby ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang