BAB 4

8.4K 431 1
                                    

Bi Minah - pembantu di rumah keluarga Hazel - tampak terkejut melihat wajah babak belur milik Elianra ketika membukakan pintu rumah untuknya dan kedua orang tuanya. Namun segera mengizinkan ketiga orang tersebut masuk.

Elianra dan kedua orang tuanya dipersilahkan duduk di sofa ruang tamu. Selang beberapa menit, kedua orang tua Hazel datang menghampiri tamu penting mereka malam ini. Lebih tepatnya, hampir tengah malam.

"Selamat malam, Pak Rikard," salam Papa Elianra. "Saya Hendra, Papa Elianra. Dan ini istri saya, Siska."

Rikard - Ayah Hazel - menerima jabatan tangan tersebut. Diikuti istrinya. Matanya tertuju tajam menatap Elianra. Lalu mempersilakan semuanya untuk duduk.

"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan putra saya. Niat kami ke sini untuk bertanggung jawab," jelas Hendra.

"Terima kasih Pak Hendra sudah mau langsung datang menemui kami, mengingat ini sudah hampir tengah malam," balas Rikard. "Jadi, kapan pernikahan anak kita ini dilangsungkan? Sebelum ada rumor-rumor tidak sedap untuk didengar telinga." Tampak sekali beliau menahan amarah. Tapi demi menjaga sopan santun pada calon besannya, Rikard berusaha menjaga emosi.

"Hazel gak mau nikah sama dia, Yah!"

Hazel yang sedari tadi menguping pembicaraan, menyerukan penolakannya. Membuat emosi yang sedari tadi di tahan Ayahnya keluar begitu saja.

"Apa-apaan kamu! Gak mau nikah tapi mau berbuat kesalahan sama dia! Kamu menguji kesabaran Ayah?!"

Hazel terisak. "Bukan aku yang mau tidur sama dia, Yah."

Perkataan tersebut membuat semua kepala menoleh pada Elianra. Hendra meraih kerah kemeja Elianra lalu memukulnya.

"Papa gak pernah didik kamu seperti ini!"

"Maaf... Ss.. hh.. Aku yang maksa Hazel, Pa. Maaf."

Mendengar itu, Hendra semakin melayangkan pukulan bertubi-tubi pada putra bungsunya itu. Siska berusaha menahan suaminya, namun tak berhasil. Alhasil wajah Elianra semakin babak belur.

***

Keadaan sudah lebih tenang. Setelah teriakan Hazel yang meminta Hendra berhenti memukuli Elianra, suasana menjadi sunyi. Siska sedang mengobati luka di wajah Elianra dengan obat yang disediakan oleh Melinda, Bunda Hazel.

"Sebaiknya pernikahan mereka segera dilangsungkan," kata Rikard.

"Saya setuju, Pak," jawab Hendra. "Mereka juga sudah mau lulus. Tinggal menunggu pengumuman."

"Tapi, Yah..."

Perkataan Hazel terputus begitu melihat tatapan Ayahnya. Dia memilih menunduk. Kedua tangannya sibuk memilin di atas pangkuannya. Siska dan Melinda memilih diam, daripada memperpanas keadaan.

"Batalkan beasiswa kamu di Johns Hopkins."

Elianra kaget mendengar perkataan Hendra. Bibirnya sungguh ingin membuka memberi protes, tapi itu tidak terjadi.

"Johns Hopkins, di Baltimore, maksud Pak Hendra?" tanya Rikard yang langsung diiyakan oleh Hendra.

"Sebaiknya, mereka tinggal di Baltimore saja setelah menikah, Pak," ucap Rikard.

"Ayah!" seru Hazel. "Ayah tahu aku bakal kuliah di London. Itu impian aku!"

"Dan kamu yang sudah merusak impian itu!"

Elianra merasa bersalah mendengar itu. Dia benar-benar merusak Hazel hanya karena satu kesalahan. Bahkan dia sendiri tak mampu memaafkan dirinya sendiri, apalagi Hazel.

"Pokoknya ini keputusan final. Kalian tinggal di Baltimore," kata Rikard. "Setelah menikah, kamu bukan lagi tanggung jawab Ayah, tapi Elianra."

***

"Hazel, aku..."

"Kamu ngapain ke kamar aku?! Pergi!"

Elianra memang mengejar Hazel ketika dia lari begitu saja setelah keputusan final dari pembicaraan keluarga mereka malam ini.

"Aku tahu, maaf gak akan pernah cukup, Zel. Tapi setidaknya, izinkan aku bertanggung jawab."

"Pergi," lirih Hazel.

"Aku janji akan menjaga kamu dan... calon anak kita. Aku janji, Zel."

"Percuma, El!" sentak Hazel. "Percuma kamu jaga sesuatu yang udah hancur. Gak guna tahu gak?!"

Elianra memejamkan matanya sesaat. Merasa sesak.

"Kalau begitu, izinkan aku merapikan lebih dulu. Merapikan yang sudah kuhancurkan itu."

Hazel tertawa meremehkan. "Kamu brengsek banget!"

"Aku tahu."

"Keluar!"

Elianra bergerak mendekati Hazel. Dia berlutut di depannya. Membuat Hazel bertanya-tanya apakah Elianra ingin memohon kepadanya.

"Tolong jaga dia. Dia bukan kesalahan," bisik Elianra dengan tangan yang menyentuh perut Hazel yang masih rata.

Sejenak Hazel merasakan kehangatan. Namun perasaan itu dengan cepat berlalu. Ia menghempaskan tangan Elianra.

"Pergi!"

Elianra bangkit. Menatap Hazel dengan sorot yang dalam. Ada banyak perasaan yang ingin disampaikan dari sana. Kemudian dia berlalu meninggalkan Hazel yang masih terpaku karena tatapan cowok itu.

***







~ValentinVaval

(10 Januari 2017)

Rumah Untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang