BAB 11

6.4K 419 21
                                    

Larik-larik sinar matahari menggelitik kelopak mata Elianra. Menariknya untuk terbuka secara perlahan. Dikerjap-kerjapkannya matanya dan ia menyadari ada seseorang yang memeluknya dengan erat. Begitu erat.

Elianra tersenyum. Berterima kasih pada Tuhan, karena untuk pertama kalinya, dia bisa menikmati wajah damai Hazel saat tidur. Begitu lembut dan indah. Digerakkannya tangan kanannya namun ia meringis. Denyut dari lukanya terasa perih. Tapi rasa perih itu seakan berkurang ketika ia melihat perban yang membalut tangannya, yang mengartikan bahwa tadi malam Hazel mengobati luka itu.

Elianra semakin melebarkan senyumnya, menanti kedua kelopak mata yang sedang bergerak perlahan di hadapannya terbuka lebar. Ia tertawa kecil menyaksikan proses bangun di pagi hari ala Hazel.

Hazel yang akhirnya sadar sedang memeluk Elianra, segera bangkit dari tidurnya dengan salah tingkah.

"Eh... Itu... El... Anu... Aku... Aku ketiduran semalam. Sorry," katanya gelagapan.

Elianra lagi-lagi tertawa kecil. "Sering-sering ya tidur di samping aku," jawabnya sembari bangkit mengikuti Hazel yang terduduk. "Apalagi ada bonus pelukannya."

Hazel bersemu dan ia tidak bisa menghindari reaksi alami itu. Jadilah ia melihat tangan Elianra untuk menutupi wajahnya yang sedang merona.

"Gimana tangan kamu?"

"Jauh lebih baik daripada dikasih bubuk kopi. Thanks, Zel."

Hazel tersenyum. Dan lagi-lagi Elianra bersyukur kepada Tuhan, bisa melihat senyum indah itu di pagi hari. Rasanya seperti hari ini akan berjalan dengan mudah dan bahagia.

"Baguslah," kata Hazel, masih canggung. "Aku akan mandi dulu."

Hazel beranjak mengambil handuk, bersiap memasuki kamar mandi. Namun ia berbalik kepada Elianra. "Lalu bagaimana kau akan mandi?" tanyanya tiba-tiba. "Tanganmu..."

"Memangnya kau akan memandikanku?" tanya Elianra balik dengan nada menggoda.

"A..apa?" teriak Hazel. "Te..tentu saja tidak! Yang benar saja!"

"Lalu untuk apa kau bertanya, hmm?"

"Ahh.. Itu... Aku hanya ingin menyarankan..."

"Hmm?"

"Kau bisa pakai tangan kirimu saja. Dan jaga lukamu agar tidak basah. Itu bisa membuatnya lama kering dan infeksi. Dan itu artinya akan lama sembuhnya."

Elianra berdiri dan berjalan mendekati Hazel. Dibawanya istrinya itu ke dalam dekapannya. "Terima kasih," katanya, dan Hazel terpaku. Lalu Elianra merunduk mencium perutnya. "Thanks, baby. Sudah bantuin Mama buat perhatian sama Papa," lanjutnya.

Lucu, pikir Hazel. Dia tidak merasa risih. Yang dia rasakan hanya kenyamanan. Dan apa kata Elianra tadi? Papa-Mama? Itu terdengar... Lucu... Aneh... Namun menyenangkan.

***

"Ayo makan, El!" ajak Hazel.

Elianra dengan semangat mendudukkan diri di salah satu kursi yang melingkari meja makan. Hazel mengambilkan nasi dan lauk yang dia masak seadanya.

"Ini," ditaruhnya piring itu di depan Elianra. "Kau bisa makan dengan tangan kiri?"

"Kalau aku bilang tidak, apa kau akan menyuapiku?"

"Tentu saja," jawab Hazel cepat. Sedetik kemudian dia menyadari nada suaranya dan jadi salah tingkah.

Hazel berdehem sebentar. "Umm... Jadi, apa kau ingin di suapi?"

Tanpa berpikir dua kali, Elianra menganggukkan kepalanya dengan cepat. Seperti anak kecil yang takut ibunya tidak jadi memberikan permen. Dan hal itu mendorong Hazel untuk tertawa.

Jadilah mereka makan sepiring berdua. Tangan Hazel yang bergerak bergantian mengisi perut mereka masing-masing. Elianra sampai bingung, bagaimana harus berterima kasih pada Tuhan. Karena kebahagiaan hari ini... rasanya lebih dari cukup.

***

Kalau tadi mereka saling tertawa dan tersenyum, lain halnya dengan saat ini. Terhitung sejak mereka selesai sarapan, tidak ada percakapan lain yang menyusulnya. Dikarenakan Hazel yang terus menghindar dari Elianra. Dia terlalu canggung berhadapan dengan Elianra setiap kali mengingat tingkah lakunya pagi ini pada suaminya.

Hazel ingin setiap hari seperti ini saja. Tapi di satu sisi dia malu. Hal inilah yang membuat keadaan jadi aneh dan canggung. Hal yang tidak biasa Hazel rasakan. Atau hal yang dulu sekali pernah ia rasakan.

Hazel mau, tapi dia malu, ditambah lagi ada rasa takut. Semuanya menggenang seperti air hujan yang masih berjatuhan di luar.

Elianra sendiri bingung. Dia ingin sekali mengahadapi Hazel dan bersama-sama mereka akan melewati obrolan yang menyenangkan. Tetapi dia tidak ingin Hazel terganggu. Sebab Hazel sendiri yang memilih menghindari Elianra. Hal itu terlihat sekali dari caranya bergerak di hadapan Elianra, dari bagaimana Hazel menghindari tatapan Elianra setiap mereka harus berpapasan di dalam apartemen. Dan sekarang Hazel memilih mengurung diri di kamar.

Perasaan keduanya berkecamuk. Berargumen antara yang diinginkan dan tidak. Berperang di antara mau, malu, dan segan.

Elianra duduk terpaku di sofa ruang tamu yang juga rangkap ruang keluarga. Matanya sesekali menantikan Hazel muncul dari pintu kamar mereka dengan senyuman indahnya.

Dan untuk kesekian kalinya, Elianra mengucap syukur, saat dilihatnya Hazel keluar kamar. Mata mereka saling bertatapan.

"El," panggil Hazel.

"Ya, Zel?"

"Apa kau bisa tidur di sampingku dan memelukku sekarang?"

***











Thanks for waiting...
And sorry for very late update. I have so many work to do.

Enjoy this part 😊

~Vavalentinzia
(18 Juli, 2017)

Rumah Untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang