BAB 13

5.8K 383 28
                                    

Elianra mencoba menenangkan suaranya sebelum menerima panggilan telpon dari mamanya.

"Ya, ma?"

"Gimana, nak? Kamu baik-baik saja sama menantu mama kan?"

Elianra meminta maaf dalam hati sebelum ia berbohong, "Baik, ma."

"Sudah ketemu host parents kamu? Gimana orangnya?"

"Udah, ma. Baik banget. Gak cuma aku aja yang dibiayain ternyata."

"Syukurlah kalau begitu," kata Siska. "Di sana sudah malam kan? Hazel sudah tidur? Bisa mama bicara sama menantu mama sebentar?"

Elianra tidak menjawab. Dia menghembuskan napas lelah seraya melangkah mengetuk pintu kamar.

"Zel, mama mau ngomong sama kamu."

Mendengar itu, Hazel mendengus. Dasar pengadu. Sungutnya dalam hati.

Hazel membukakan pintu untuk Elianra dan menerima handphone yang disodorkan padanya.

"Ya, ma. Ini Hazel," kata Hazel pelan, mencoba menutupi kemarahannya.

"Sudah makan?"

"Sudah, ma," bohongnya. "Mama sendiri sudah makan?"

"Sudah juga, sayang." Hazel hampir menangis mendengar suara lembut itu. "Kamu kalau kepingin apa-apa, bilang aja ke suamimu ya, nak. Jangan malu."

Hazel terisak kecil. Ternyata mamanya tidak tahu kalau mereka selalu tidak baik-baik saja. Dan ternyata mama mertuanya itu begitu perhatian pada dirinya. Bahkan Bundanya belum menelponnya hanya untuk menyampaikan hal semacam itu.

"Iya, ma."

"Ya, sudah. Tolong kasih ke suamimu dulu, nak. Papa mau bicara. Kamu sehat-sehat ya. Jangan malas makan."

Hazel menahan isakannya yang ingin membuncah. "Iya, mama juga sehat-sehat di sana."

Setelah menyampaikan salam penutup, Hazel mengembalikan ponsel Elianra. Tanpa suara dia memberitahu Elianra bahwa papa ingin berbicara dengannya. Lalu Hazel kembali menutup pintu perlahan. Jadilah Elianra berjalan menuju sofa dan berbicara dengan papa melalui ponselnya.

***

"Zel," panggil Elianra. Dia menurunkan gagang pintu, ternyata tidak terkunci. "Aku minta maaf."

"Sampai kapan kamu akan berhenti bilang 'maaf'?"

"Maaf," kata Elianra.

Hazel berdecak. Emosinya benar-benar ingin meletup. Tapi dia juga ingin menangis sekarang. Labil sekali dia karena hormon ini.

"Aku capek, El," katanya. "Please, kita kembali pada diri sendiri aja. Lebih baik kita gak saling bicara, daripada akan lebih menyakiti."

Setelah mengatakan itu, Hazel membaringkan tubuhnya membelakangi Elianra yang masih berdiri di sisi kanan tempat tidur. Elianra melihat bahu dari tubuh yang berbaring itu bergetar, menandakan ada rinai hujan di sana.

"Aku sudah kenal Mytha sejak tiga tahun yang lalu. Waktu kita studi banding di Bandung. Waktu itu kamu lagi marah sama aku dan pergi sama James," jelas Elianra.

"Kami memang dekat. Tapi percayalah, tak ada hubungan lebih spesial antara aku dan Mytha. Hubungan itu hanya milik kita, Zel. Dan kuharap selamanya begitu," kata Elianra lagi, lalu melangkah keluar kamar.

Elianra memandang pintu yang baru saja ditutupnya. "Aku... harus bagaimana sekarang?" gumamnya lelah.

***

Dulu, di awal pertemuan mereka, Hazel pernah berpikir bahwa akan ada akhir bahagia antara dia dan Elianra. Dan kini dia terlalu lelah. Lelah jatuh ke perasaan yang lagi-lagi sama setiap melihat Elianra: rasa rindu. Rindu yang mewakili sejuta perasaan lain.

Tapi rindu itu melesak ke dalam. Tertutup oleh luka yang menganga di luar. Bukankah luka dan rindu itu satu paket? Tapi kenapa lukanya mengalahkan rindu? Kenapa porsinya tak merata saja?

Hazel mengelus perutnya pelan. Di dalam sana ada kehidupan yang juga punya rasa rindu. Rindu untuk disayangi kedua orang tuanya. Tapi Hazel tak tahu harus bersikap seperti apa setelah ini. Haruskah dia mewujudkan perkataannya bahwa mereka lebih baik saling membisu saja? Atau dia harus apa?

Memaafkan adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Kau harus benar-benar ikhlas, sekali pun tak benar-benar melupakan.

Mudah menahan segala kesah di ujung lidah, tapi tak mudah menampungnya di relung hati. Karena rasanya sesak. Seperti dipaksa bertahan dalam ruangan minim oksigen.

Hazel tahu, mencinta dan dicintai, memiliki dan dimiliki tidaklah mudah. Tanggung jawabnya besar saat kau memegang hati seseorang dalam tanganmu.

Pada satu masa, Hazel pernah mematri nama Elianra dalam kebencian. Dia mematrinya hingga kini. Tapi dia terpatri begitu dalam hingga Hazel tak menyadari kini wujudnya cinta.

Benci Hazel lupa diri, dia mencintai Elianra.

***

Malam sudah lewat. Pagi kembali unjuk diri. Lewat sang mentari. Elianra terbangun mendengar suara berisik dari arah dapur. Dikuceknya matanya sejenak lalu beranjak dari sofa tempat di mana dia terlelap semalam. Meskipun tak bisa dikatakan lelap dikarenakan dirinya yang baru tidur dua jam, kurang lebih.

Di dapur, Hazel ternyata sedang memasak adonan pancake yang tertunda dimasak kemarin. Dia menyadari kehadiran Elianra, namun tak menyapanya. Ternyata Hazel sungguh-sungguh dengan ucapannya semalam.

"Kamu duduk aja, Zel. Biar aku aja."

Hazel tetap bungkam dan tetap memasak. Elianra memutuskan untuk menyuguhkan susu untuk Hazel. Sesaat setelah disodorkan, susu itu segera diteguk Hazel. Lalu ia meletakkan gelas kosongnya di wastafel tanpa berkata apa pun.

Setelah memasak setengah dari adonan, Hazel menata hasil masakannya di atas meja. Ia tidak lupa mengambilkan porsi suaminya dan meletakkannya di depan Elianra, lalu dia makan dengan santai.

Elianra menghembuskan napas. Dia menatap Hazel yang makan dengan lahap. Jadilah dia juga makan dengan lahap.

***

Hari berganti hari. Bulan sudah berjalan dua langkah. Elianra sudah semakin sibuk dengan kuliahnya. Dan Hazel semakin susah memakai baju pas badan, dikarenakan usia kehamilannya yang menginjak tiga bulan lebih.

Waktu saja yang berganti, tapi kebisuan mereka tidak berganti. Sekali pun Elianra terus mengajak Hazel berbicara, Hazel hanya akan merespon seadanya, atau bahkan tak dijawab sama sekali.

Elianra tidak menyerah tentu saja. He would never have broken up with Hazel.

Elianra selalu berharap bahwa dia bisa memperbaiki hubungan mereka. Elianra yakin akan berhasil. Buktinya beberapa bulan lalu mereka sempat dekat. Apa salahnya menunggu waktu seperti itu datang lagi. Bahkan sekarang Hazel masih mau memasak untuknya, mencuci bajunya, melakukan segala pekerjaan sebagai seorang istri, meskipun dalam diam, meskipun Elianra sudah sering kali melarang dengan alasan cemas pada kandungan Hazel.

Elianra selalu memimpikan mereka: dia, Hazel dan si dedek, dalam tiap lantunan doa. Jadi sekarang inilah dia dan dirinya yang berjuang dalam kesepian dan kebisuan mereka.

Apakah ketika hari dimana Elianra memutuskan untuk membawa tanggung jawab besarnya, ia tetap melihat Hazel sebagai yang tak tergantikan?

Ya, dia selalu melihat Hazel seperti itu.

Selalu.

***







Enjoy this part 😊

Dont forget to klik the star and write some comments... Thanks 😉

~Vavalentinzia

(August 23, 2017)

Rumah Untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang