"Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba minta pulang dengan menangis begini? Katakan padaku apa si Jae-mu itu berkata yang tidak-tidak?! Apa dia menyakitimu?"
Elianra memberondong Hazel dengan berbagai pertanyaan sebab istrinya itu tiba-tiba berlari padanya dengan mata berlinang hanya untuk mengajaknya pulang. Tidak hanya itu, sepanjang perjalanan menuju ke apartemen mereka pun Hazel tetap terisak, membuat Elianra khawatir padanya.
Hazel mengabaikan Elianra dan melangkah menuju kamar mereka. Tetapi Elianra tetap menanti jawaban dari istrinya itu.
"Zel, ada apa?" tanyanya khawatir. "Kenapa kau menangis begini?"
"Perutku sakit," jawab Hazel acuh.
Elianra berdecak. "Perut sakit? Yang benar saja! Kau bahkan bisa berlari kecil tadi," katanya jengkel. "Kau bisa berbagi denganku, Zel. Aku siap mendengarkan. Sekarang katakan, kenapa kau menangis, hmm?" Ia menurunkan nada suaranya.
Hazel menepis tangan Elianra yang menangkup wajahnya lembut. "Sudah kubilang perutku sakit!" teriaknya. "Kau gak percaya?! Kau mau aku jawab bagaimana?"
Emosi Hazel menguap keluar. Ia menatap tajam Elianra dan melanjutkan kata-katanya. "Oh... Kau mau aku jawab yang sesungguhnya? Ok... Akan aku jawab." Hazel mengambil jeda sejenak hanya untuk mengelap air mata yang masih mengalir di pipinya. "Kau mau tahu kenapa aku menangis?" tanyanya dingin.
"Itu karena aku menangisi takdirku yang harus menghabiskan waktu bersamamu! Aku benci harus menikah denganmu! Aku benci hari di mana pertama kali kita bertemu! Aku benci aku pernah dengan bodohnya jatuh padamu! Aku benci karena sekarang aku harus mengabdikan hidupku padamu! Aku benci karena sekarang kaulah suamiku! Aku benci karena kaulah ayah dari anakku! Aku benci harus bersamamu! Kenapa bukan Ethan?! Kenapa bukan Elang?! Kenapa bukan Kris, bukan James?! Kenapa harus kamu, El?! Kenapa?!" teriaknya histeris.
Elianra terpaku di tempatnya berpijak. Sementara Hazel seperti terkejut dengan semua perkataan yang baru saja dia lontarkan.
Elianra bergerak memeluk Hazel. Namun sebelum tangannya menjangkau tubuh wanita itu, Hazel sudah lebih dulu mendorongnya menjauh.
"Maaf." Hanya kata itu yang mampu Elianra ucapkan sebelum melangkah meninggalkan Hazel yang semakin terisak.
***
Hazel terbangun saat perutnya memanggil minta diisi. Ketika beranjak keluar kamar, ia sempat menatap dirinya di cermin. Mata dan hidungnya sembab, beruntung tidak bengkak. Lalu ia melanjutkan langkahnya menuju dapur.
Langkahnya terhenti ketika ia mendengar isak tangis dari arah dapur. Gemuruh ketakutan mulai menjalari tubuhnya. Diliriknya jam dinding sudah menunjukkan waktu lewat tengah malam. Diambilnya salah satu guci dari meja pajangan yang tak jauh dari jangkauannya, lalu kembali melangkah.
Saat mencapai ambang pintu dapur, saat itulah hatinya mencelos. Di sana... di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan... suaminya sedang terisak. Kepalanya merunduk mencium meja makan. Bahunya bergetar hebat, dan sesekali terdengar isakan.Tangan kanan Hazel bergerak menyentuh dadanya. Sesak. Karena untuk pertama kalinya, dia melihat laki-laki itu menangis. Dan mungkin saja... itu karena dirinya.
***
Entah sudah berapa lama, namun Hazel masih berdiri di ambang pintu dapur ketika Elianra mulai tenang. Dia mengambil segelas air dan meneguknya cepat. Lalu membasuh wajahnya dengan air dari keran di tempat pencucian piring. Saat hendak keluar, barulah dia menyadari bahwa istrinya sedang menatapnya.
"Sejak kapan kau berdiri... di situ?"
Hazel kalang kabut menjawab, "A.. Aku... Aku baru saja ingin mengambil cemilan. Kau sedang apa?" Ia mencoba bersikap tenang.
"Kau lapar?"
Hazel merutuki Elianra yang masih bersikap lembut padanya setelah amarahnya tadi.
"Umm... Ya."
"Kau mau makan apa? Biar aku belikan. Tidak ada makanan di kulkas."
"Aku ikut denganmu."
"Ha?"
"A.. Aku... Maksudku... Aku ikut biar aku yang memilih sendiri nanti."
"Oh... Ok," jawab Elianra. "Tapi tolong ganti bajumu lebih dulu. Pakailah celana yang panjang dan pakai jaketmu."
"Tidak," jawab Hazel cepat. "Aku tidak mau," lanjutnya seraya beranjak keluar apartemen.
Elianra berlari mengejar Hazel yang sudah berada di depan lift. "Pakai ini." Elianra memakaikan jaket kulit miliknya yang sempat diambilnya tadi.
"Kalau aku bilang tidak mau, ya tidak mau!" sentak Hazel. Elianra pasrah dan mengikuti saja istrinya.
***
Elianra mengenakkan giginya selama berada di minimarket yang terletak di bawah apartemen mereka. Pasalnya banyak sekali laki-laki yang memandang istrinya dengan pandangan kurang ajar. Amarahnya semakin mendalam setiap kali Hazel bersikap acuh saat Elianra mau memakaikan jaket padanya.
Dengan cepat Elianra membayar belanjaan mereka sementara Hazel menunggunya. Namun yang tak disangka, istrinya itu sedang di goda oleh tiga orang pria di depan minimarket ini. Hazel terlihat terganggu dan di tarik-tarik. Tampaknya ketiga pria itu dalam keadaan mabuk.
"Touch her once again and you will die!" sentak Elianra. Dengan segera ia menarik tangan Hazel. Amarahnya ingin dikeluarkan tapi dia tidak bisa. Dia tidak ingin memarahi Hazel. Dia takut Hazel akan semakin membencinya.
Sementara Hazel hanya diam. Dia shocked karena kejadian di depan minimarket tadi. Padangannya terus mengikuti Elianra kemana pun ia bergerak. Sampai ketika Hazel melihat tangan Elianra terluka karena pecahan gelas kaca yang di genggamnya.
"Astaga, El! Tanganmu!"
"Tidak apa-apa," kata Elianra masih dengan mengenakkan giginya. Namun Hazel yang melihat darah segar terus meluncur dari tangan El tak bisa menutupi kecemasannya.
"Sini biar aku obati..."
"Sudah kubilang aku tidak apa-apa!!!"
Hazel kaget dengan teriakan Elianra yang tiba-tiba. Elianra sendiri mencoba menyurutkan emosinya.
"Makanlah sendiri. Aku ingin tidur," kata Elianra lalu pergi.
Hazel terpaku. Terus terpaku. Tak bergeming sedikit pun dari tempat kakinya menjejak.
Waktu terus berlalu dengan detak jantungnya yang terus bertalu. Dia bahkan tidak tahu sudah jam berapa sekarang ini. Dia hanya terus berdiri. Sampai dia ingat seharusnya dia mengobati Elianra.
Dikemasinya makanan yang tak jadi disantapnya lalu menuju ke kamar mereka. Di sana, beralaskan bed cover tipis di samping ranjang, dilihatnya Elianra terbaring. Tangannya dibaluri darah kering dan bubuk kopi.
Hazel mendekat dengan kotak P3K di tangannya dan duduk di samping Elianra. Dibersihkannya luka itu, diobati, dan dibalut dengan perban. Semua itu dilakukannya dengan air mata yang entah sejak kapan kembali meleleh.
"Maaf," katanya sebelum jatuh tertidur.
***
~ValentinVaval
(27 Mei 2017)
Jangan lupa tinggalkan jejak ya :)
Tinggalkan komentar yang bikin semangat dungss... Jangan cuma "Next ya..."
Duh... Semangatku langsung down baca itu doang... WkwkTerima kasih sudah mau baca dan vote dan komen :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Untuk Cinta
Romance17+ Hazel membenci Elianra dan satu sekolah tahu akan hal itu. Kebencian itu semakin dalam ketika Elianra merenggut harta berharga perempuan itu dengan paksa. Membuat mereka harus terikat dalam kehidupan pernikahan. ... Semuanya akan meninggalkan be...