BAB 18

1.6K 104 12
                                    

Tatapan Hazel masih begitu tajam terhadap Elianra yang terbaring di kasur. Bisa-bisanya dia mengganggap sepele bekas operasi. Lebih parahnya lagi, bisa-bisanya dia menjalani operasi tanpa sepengetahuan Hazel. Bagaimana Hazel tidak kaget setelah membuka perban di luka El yang ternyata menunjukkan bahwa jahitan itu terbuka. Segera saja ia menghubungi ayahnya untuk mengirimkan salah satu dokter kenalan ke apartemen mereka.

"Untuk seminggu ini jangan beraktivitas berat dulu ya. Pemulihan paling cepat 3-4 minggu. Hindari makanan padat, manis dan pedas," dokter Dion menjelaskan. "Ah, dan juga tidak ada alkohol," tambah beliau dengan senyuman.

Hazel mengangguk, "Terima kasih, dok." Lalu mengantar dokter Dion keluar setelah beliau selesai berkemas.

***

Hazel setia menyuapi El bubur buatannya, membantunya minum obat dan perawatan lain yang semestinya. Tapi dia menjalankan aksi diam selama melakukan semua itu.

"Zel, say something, please. Aku lebih gak apa-apa kalau kamu marah dan pukul aku daripada diam begini." El berusaha bangun dari tidurnya. "Maaf aku gak kabarin kamu soal operasinya karena gak mau buat kamu cemas..."

"Terus sekarang puas? Aku malah jadi cemas sekarang," potong Hazel. "Oh, bukan cemas, tapi sangat... sangattt... cemas," tekannya lagi.

"Maaf. Aku gak tau bakal jadi kayak gini."

"Itu karena kamu calon dokter pintar yang bahkan gak tau jaga diri setelah operasi usus buntu," sorak Hazel. Emosinya meningkat. "Astaga...," Hazel menengadahkan kepalanya sejenak, berusaha mencari kata yang tepat untuk diucapkan. "Dua hari, El. Dua hari pasca operasi dan kamu ngotot terbang ke sini. Unbelievable."

"Aku tau kamu tunggu aku," jawabnya. Membuat hati Hazel bergetar untuk sejenak. "Dan lagi tiketku sudah di-booking. Kamu tahu kan kita harus hemat sekarang. Meskipun itu pemberian host parents aku, tetap aja aku gak bisa cancel. Kan sayang uangnya, Zel."

"Jadi sekarang uang lebih penting daripada hidupmu?"

"Bukan begitu..." Elianra menyerah. Dia tidak punya jawaban lagi. Dilihatnya Hazel mendekat. Duduk di sisi ranjang. Lalu meraih tangannya yang tidak terinfus. "Kami merindukanmu," dibawanya tangan kokoh itu ke arah buah hati mereka. Dada El menghangat. Tanpa sadar dia malah telah melukai wanitanya.

El mengelus perut itu sejenak lalu membawa Hazel ke pelukannya. Dia juga rindu. Sangat rindu.

***

Sebuah foto di dalam pigura mengalirkan energi bagi Hazel untuk tersenyum. Ia baru mencuci salah satu foto di masa seragam putih abu-abunya dengan Elianra. Zaman mereka masih adem ayem, belum ada yang namanya perang dunia ketiga diantara mereka. Sejenak Hazel berpikir, bagaimana mereka yang dulunya sangat dekat bisa saling membenci. Hazel ingin mempertanyakan beberapa kisah di masa lalu pada Elianra, tapi nanti pikirnya, saat El sudah benar-benar pulih. Lagian mereka baru berbaikan, Hazel tidak mau jawaban El malah membuat kebencian yang sudah tenggelam itu terbit kembali. Untuk sementara, yang seperti ini sudah lebih dari cukup.

El baru saja keluar dari kamar mandi ketika ia melihat Hazel tersenyum menerawang di depan pigura yang bertengger manis pada meja kecil di samping tempat tidur.

"Itu waktu makan bakso di Bude kan ya?" Tanya El antusias. Hazel mengangguk tak kalah semangat.

"Jadi kepingin makan bakso," gumam El, namun masih dapat di dengar oleh Hazel. Ia pun menoleh, "Beneran?" tanyanya.

El menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Kamu bisa bikin?"

Hazel tersenyum, "Bisa kok."

Rumah Untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang