BAB 16

6.9K 399 14
                                    

Elianra baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di luar kamarnya dan Hazel, ketika ia melihat Hazel berjalan mengendap-endap.

Elianra merasa bingung dengan kelakuan Hazel tersebut dan mengikuti perempuan itu hingga ke arah dapur. Dilihatnya Hazel bergumam sendiri seraya mengetuk-ngetuk pelipisnya.

Elianra tidak tahan untuk tidak bertanya, "Kamu kenapa?"

Dan pertanyaannya yang tiba-tiba membuat Hazel terlonjak kaget dan hal itu membuat jari telunjuknya mengarah ke matanya. Bertepatan dengan ringisan kecil dari bibir perempuan itu.

Elianra mendekati Hazel seraya meminta maaf berkali-kali. "Zel, sorry aku ngagetin kamu." Ditangkupnya wajah Hazel dan mulai meniupi mata kanannya. Disingkirkannya anak-anak rambut Hazel yang tampak mengganggu.

Elianra meniupi mata yang terus mengerjap itu dengan lembut. Dan ketika mata itu membaik dan bertemu dengan tatapannya, disanalah Elianra melihat perempuannya merona, menggelitik kedalaman dirinya untuk tersenyum sesegera mungkin. Elianra mengelus pipi Hazel dengan lirih. Seakan takut apa yang disentuhnya akan retak jika ia terlalu kasar.

Hazel masih setia menatapnya dan mereka tenggelam dalam pembicaraan yang bungkam. Menyalurkan segala rasa dalam satu pandang yang saling menelisik kedalaman benda bening itu.

"Zel," bisik Elianra. "Aku tahu, mungkin kamu bosan denger ini," Elianra memberi jeda sejenak, mengisi udara yang mulai hilang dari dadanya. "Tapi ... Maaf. Maaf," tuturnya frustasi. "Kalau begini cara Tuhan menyatukan kita, apa daya aku hanya bisa mempertanyakan tanpa mempermasalahkan. Aku tahu, maaf ini tak akan pernah cukup."

Hazel terisak. Derai hujan itu jatuh lagi. Dan hal itu membuat Elianra semakin frustasi. Direngkuhnya tubuh itu dengan hati-hati. Dengan kasih yang terbagi secara tulus dan ikhlas.

"Please, don't cry. It's hurt," lirihnya.

"Aku benci kamu, El," tangis Hazel dan Elianra semakin sesak.

"Maaf ... Maaf ... Ma-"

"Stop bilang maaf! I hate that!"

Elianra bungkam. Kehilangan kata-kata. Sebab perempuannya tak menginginkan satu-satunya kata yang terus ingin diucapkannya.

Hazel melepaskan pelukan itu. Kemudian menatap manik hitam pekat milik Elianra.

"Kamu tahu ... Kamu adalah musim gugur yang bersemi di dadaku. Menggugurkan benci dan selalu jatuh sebagai cinta atau rindu yang menenggelamkan segalaku," tutur Hazel.

Sesaat setelah mendengar kalimat itu, Elianra menggenggam tangan Hazel dan mengajukan tanda tanya melalui raut wajahnya yang tadinya pias.

"El, semua kesalahanmu padaku, semuanya akan meninggalkan bekas. Tidak ada yang benar-benar bersih," katanya. Dan Elianra melepaskan genggaman tangan itu. Merasa tak pantas untuk tetap menggenggamnya.

Namun Hazel menarik tangan itu untuk digenggamnya balik. "Meski waktu akan membersihkannya. Tapi rasa benci itu tidak akan hilang di dalam suatu kenyataan yang kasat mata: pikiran. Tidak akan pernah terlupakan. Aku membencimu, Elianra Jeovaro Atmaja. Sangat membencimu," lanjut Hazel dengan tegas. Elianra menundukkan kepalanya. Ia jatuh. Juga tersungkur dalam jatuhnya. Perkataan Hazel terlalu telak memukul kedalaman hatinya. Ternyata di sana tak ada tempat lagi untuk maaf dari perempuan itu baginya.

Hazel meraih dagu Elianra agar laki-laki itu kembali menatapnya yang sudah mendongakkan wajah lebih dulu, sebab porsi tubuhnya yang memang lebih pendek dibanding Elianra.

Elianra memandang kemarahan perempuan itu. Bening matanya menajam. Lalu perlahan memudar. Tangannya gemetar menyapu wajah Elianra, seraya berucap, "Tapi benci yang sangat itu ... Kalah oleh perasaan ini, El."

Rumah Untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang