BAB 2

11.1K 434 1
                                    

Sepanjang hari dilalui Hazel dengan mengurung diri di dalam kamarnya. Sejak pulang dengan keadaan kacau dari hotel yang menjadi saksi atas apa yang ia lakukan bersama seorang Elianra, Hazel sama sekali belum menyentuh makanan apapun. Sesampai di rumah dia langsung berlari ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya di bawah shower, berusaha menghilangkan jejak Elianra di tubuhnya. Dan ini sudah hampir malam. Kebisuannya tentu mengundang curiga dari keluarganya.

"Dek, makan malam! Udah ditunggu di bawah! Lo bertelur di dalem sampe gak keluar-keluar dari sangkar lo?!"

Seruan dari abangnya mau tak mau membuatnya beranjak dari tidurnya. Sebelum membuka pintu, dia menyempatkan diri bercermin. Dan astaga! Matanya bengkak dengan mengenaskan.

Abangnya terus memanggilnya dan mengetuk pintu kamarnya. Tapi dia tidak mungkin keluar dengan kondisi begini. Belum lagi ternyata di lehernya banyak tanda hasil kerja mulut Elianra.

"Ish! Lo berisik, Bang! Gue mau tidur!" teriaknya mencoba menetralkan suaranya yang serak karena menangis.

"Gue peduli, nih, sama lo! Makan, yuk! Ntar lo sakit gue juga yang repot."

"Bawel lo! Pergi sana! Jauh-jauh dari pintu kamar gue!"

Tidak ada suara yang menyautnya lagi, membuatnya menghembuskan napas lega. Tapi selang beberapa menit, ia mendengar kalimat yang berhasil meruntuhkan pertahanannya lagi.

"Gue tahu lo lagi gak baik-baik aja, dek. Gue di sini, buat lo."

Dengan kekuatannya yang berusaha menahan isak tangis, Hazel menjawab, "Gue baik-baik aja. Sana, gih, makan!"

Setelah mengatakan itu, Hazel menantikan suasana sunyi di luar sana. Dan ketika yakin tidak ada satu orang pun yang berdiri di depan pintu kamarnya, tangis itu jatuh lagi. Dia tidak tahu berapa lama ia habiskan untuk menangis, sampai akhirnya jatuh tertidur.

***

Pagi ini Hazel tampak segar. Dia berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lagi. Baginya, Elianra tidak boleh melihatnya jatuh. Karena cowok itu pasti akan menertawainya. Lebih lagi karena jatuh oleh ulah bejat cowok itu.

Sudah cukup dia menghabiskan waktu satu harinya kemarin untuk menangis. Hari ini dia akan kembali menegakkan kepalanya dengan senyum yang selalu terpatri di sana. Agar Elianra tahu, dia tidak hancur di tangan cowok itu.

Meski begitu, Hazel sadar, ada sesuatu yang tidak bisa kembali setelah terenggut. Dan setiap mengingat itu, kesedihan dan amarah itu akan keluar dengan cepat, membuatnya harus menutupinya dari orang lain.

"Nanti gue jemput. Pulang cepet kan?"

Hazel mengiyakan pertanyaan abangnya. "Tumben lo baik," sindirnya.

Jovan, abangnya itu, mengacak rambutnya seraya menjawab, "Gue sayang sama lo, makanya gue care. Gue tahu ada yang salah. Tapi gue gak maksa lo buat cerita. Lo pikir gue gak bosan denger tangisan lo tadi malem?"

Hazel membulatkan matanya. "Ish... Lo nguping ya?"

Jovan tertawa dan memakai kembali helmnya. "Gak perlu nguping juga kedengeran kali," katanya mencibir, lalu menghidupkan motornya dan berlalu meninggalkan Hazel yang masih terpaku di tempatnya.

Saat berbalik, matanya menangkap sosok orang paling akhir yang ingin ia temui di muka bumi ini: Elianra. Dengan cepat ia melangkah melewati cowok tinggi tegap itu, namun terlambat, tangannya sudah berhasil dicekal oleh Elianra.

"Kita perlu bicara, Zel."

"Gue gak mau bicara sama lo!" Hazel berusaha melepaskan tangannya dari cekalan kuat Elianra, namun gagal. "Apa mau lo?!"

"Gue mau tanggung jawab," jawab Elianra lirih.

Hazel berdecak. "Tanggung jawab apa, El?! Karena udah nyakitin gue?! Lo udah sering ngelakuin itu kalo lo inget!"

Elianra menarik tangan Hazel, membawanya masuk ke mobil cowok itu. Hazel yang sedikit terseret semakin kesal pada cowok itu karena mereka harus menjadi tontonan. Hal itu mungkin wajar bagi teman-teman satu sekolah mereka, tapi kali ini, hal memalukan ini sangat kelewatan bagi seorang Hazel.

"Lo mau apa, ha?!" teriaknya ketika mobil Elianra sudah melaju keluar lingkungan sekolah.

"Gue mau tanggung jawab, Zel! Demi Tuhan, gue udah ngerenggut milik lo yang berharga! Gue brengsek banget!"

Hazel, cewek itu tertawa meremehkan. "Lo baru nyadar kalo lo itu brengsek?! Kemana aja selama ini, El?!" Dia menatap Elianra yang sibuk dengan kemudinya. Tatapan yang tajam dan dingin. "Gue benci lo seumur hidup gue! Jangan pernah perlihatkan wajah lo di depan gue lagi! Please, El. Lupain semua seakan gak pernah terjadi apa-apa. Jangan ganggu hidup gue lagi! Itu udah cukup buat gue!"

Elianra menatap Hazel tidak percaya. "Tapi, Zel, gue udah..."

"Gue bilang lupain!" potong Hazel. "Berhenti sekarang! Lo udah buat gue terlambat latihan buat prom night!"

Mau tak mau, Elianra memutar arah kembali ke sekolah. Daripada Hazel terus berteriak dan berujung menangis, lebih baik kali ini dia menyerah. Tapi dia tidak akan benar-benar menyerah. Masalah mereka harus selesai. Atau dia akan gila karena terus dihantui rasa bersalah.

***







~ValentinVaval

(8 November 2016)

Rumah Untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang