16

1.1K 49 2
                                    

Alina menutup rapat pintu kamarnya dengan tak lupa mengunci pintu. Ia menyenderkan punggungnya pada pintu kamar setelah orang tuanya pergi meninggalkannya. Tangisnya pecah seketika. Bayang-bayang foto itu terus menghantui pikirannya.

"Hiks.." isakkan tangisnya kembali terdengar dari mulut manisnya. Ia membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangannya, berharap hal itu bisa meredam tangisannya.

Alina menangis dalam diamnya di tengah gelapnya malam, malam ini. Ia benar-benar tidak bisa berfikir jernih untuk saat ini. Ia butuh sendiri, untuk menenangkan dirinya, pikirannya dan juga hatinya. Alina tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, yang jelas setelah keadaannya mulai membaik ia akan memutuskan hal yang menurutnya adalah keputusan yang terbaik. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Dariel dan juga Putri.

"Where are you now that i need you.."

Suara dering ponselnya membuat Alina harus menghentikan sejenak tangisannya. Ia merangkak ke arah nakas dekat lampu tidurnya.

"Dariel" ujarnya pelan saat ia tahu jika pria itu yang menghubunginya. Alina melempar ponselnya asal, lalu kembali menekuk lututnya di pojokan kamar. Ia mengerang menahan sesak di dadanya karena rasa sakit yang benar-benar menyeruak mengendalikan tubuhnya.  Tanpa memperdulikan suara ponselnya yang terus berdering.

Alina merenggut rambutnya kasar "arrgghh.. hiks"

Alina menangis, menahan kepahitan hidupnya. Kehidupannya mungkin tidak akan seperti ini jika ia tidak mengizinkan pria itu masuk ke dalam hidupnya.

Menyesal? Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Entahlah yang ia tahu hanya rasa sakit yang sedikit demi sedikit menghancurkan pertahanan dirinya.

---------

"Ck. Kenapa gak diangkat-angkat sih?" Tanya Dariel kesal pada dirinya sendiri. Ia memandang kesal ke arah ponsel di tangannya. Perasaannya begitu cemas memikirkan keadaan Alina, kekasihnya. Sebenarnya ia tidak harus secemas ini, karena Alina pasti baik-baik saja di sana. Tapi perasaannya berkata lain, ada sesuatu yang membuat hatinya tak enak. Seperti sedang terjadi sesuatu pada kekasihnya itu. Ia benar-benar kalut ditambah dengan Alina yang tidak menjawab sama sekali teleponnya. Apa Alina sudah tidur? Batinnya terus bertanya-tanya. Ya mungkin saja dia udah tidur, makanya gak angkat telepon dari gue. Dariel terus meyakinkan dirinya sendiri, walaupun sebenarnya ia juga tak yakin.

Dariel terus mondar-mandir di kamar inapnya. Berharap Alina menghubunginya kembali. Rasa cemas itu benar-benar membuatnya tak tenang.

Pintu kamar inapnya terbuka memyembulkan seoran pria yang masuk ke dalam kamar. Pria itu Garin. Ia memandang heran ke arah Dariel yang tengah sibuk mondar-mandir dengan ponsel di tangannya. Garin berjalan menghampirinya, lalu duduk di kasur dekat dengannya.

"Lo ngapain mondar-mandir kaya gitu?" Tanya Garin, namun tak dihiraukan sama sekali olehnya

"Lo kenapa sih, Riel? Gue pusing tahu liatnya" geram Garin

Dariel mendesah frustasi seraya duduk di samping Garin. Ia memeluk kepalanya sendiri, sedetik kemudian ia meremas rambutnya kasar diiringi dengan erangan kepahitan dari mulutnya. Garin tertegun dengan apa yang dilakukan sahabatnya itu. Tangannya terulur untuk merangkul bahu sahabatnya.

"Ada masalah?" Tanya Garin

Dariel menggeleng pelan. Garin yang melihat respon seperti itu dari sahabatnya hanya bisa menghembuskan nafasnya pasrah.

"Kita temenan udah berapa lama ya, Riel? 1,2-" ujar Garin seraya mengingat-ingat berapa lama ia berteman dengan Dariel

"5 tahun" jawab Dariel cepat tanpa menolehkan kepalanya

Garin tersenyum mendengarnya, lalu menepuk bahu Dariel "Berarti bukan waktu yang sebentarkan buat gue tahu seluk beluk lo, Riel. Gue tahu kalo lo kaya gini tandanya lo lagi ada masalah, cerita sama gue! Siapa tahu gue bisa bantu"

Dariel terdiam memikirkan perkataan pria di sampingnya. Garin ada benarnya juga, siapa tahu setelah ia cerita masalahnya Garin punya solusi buat masalahnya itu.

"Apa ini tentang Alina?" Tanya Garin

Dariel terdiam, dan mengangguk.

"Kenapa lagi dia?"

"Dia gak angkat telepon dari gue" jawab Dariel lirih

"Kenapa?"

Dariel mengangkat bahunya tak tahu "gue gak tahu, perasaan gue bener-bener gak enak"

"Tenang! Mungkin dia udah tidur" seru Garin mencoba menenangkan sahabatnya dengan menepuk-nepuk bahunya

Dariel menelengkupkan kedua tangan di wajahnya. "Gue takut, Rin"

Garin mengangguk paham, ia juga bisa merasakan apa yang sahabatnya rasakan saat ini. Takut, dan cemas. Dulu juga ia pernah merasakannya saat kekasihnya tak bisa dihubungi, dan ternyata firasatnya mengatakan kebenaran. Ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya dulu. Garin juga takut hal itu terjadi pada sahabatnya. Ia takut sahabatnya ini akan melakukan hal bodoh jika Alina kenapa-napa. Ia sangat tahu jika Dariel begitu tergila-gila pada wanita itu, namun egonya yang terlalu tinggi menyebabkan dia harus merasakan pahitnya bersembunyi di dalam hubungan cintanya.

"Besok, besok kita pulang, Riel. Lo bisa tanyain dan liat sendiri kondisi Alina. Gue yakin, dia pasti baik-baik aja" ujar Garin

Dariel mengangguk, dan memandang nanar ke arah wallpaper yang ada di layar ponselnya. "Semoga"

-------

Happy new years genz😂🎉🎆 semoga tahun ini bisa lebih baik dari sebelumnya. Bahagia selalu kalian💙

Secret GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang