27

3.1K 187 1
                                    

Deo Tama Putra

"diandra aku bisa jelasin" ucapku sambil mencekal lengan kiri diandra.

"gak ada yang perlu dijelasin, apa yang tadi saya lihat sudah mampu menjelaskan semuanya, lepas atau saya akan membuat anak dalam kandungan ini tidak bisa melihat dunia" ucap diandra dingin masih tetap memandang lurus kedepan dan kemudian melanjutkan langkahnya saat aku melepas cengkramannya secara terpaksa.

Apakah ini karma, jika dulu aku membuat dia menerimaku dengan alasan anak,maka saat ini dia membuatku melepaskannya demi keselamatan anakku,aku tau diandra tidak mungkin mampu melakukan itu pada kandungannya tapi aku tetap saja khawatir, bukankah orang yang kecewa bisa melakukan apa saja. Sial kenapa hatiku tiba-tiba merasakan sakit dan menyesal. Dan bodohnya aku, padahal hubunganku dengan diandra telah kembali baik, tapi kenapa harus ada kejadian ini, ok salahkan aku yang tidak bisa menahan nafsu lelakiku ini.

Aku mengusap kasar wajahku, menatap punggung diandra yang berjalan menjauh, ah sial, apa yang baru saja aku lakukan. Sore tadi sabrina mengunjungiku, aku dan sabrina semakin sering bertemu sejak diandra pergi keluar kota, dan hampir atau bisa dipastikan setiap pertemuan kami akan melakukannya tidak terlalu jauh hanya sebatas make out, tapi sore ini aku benar-benar tergoda oleh sabrina, penampilannya benar-benar mampu membangkitkan naluri kelelakianku, dan kami melakukannya jauh tidak seperti biasanya. Dan aku sama sekali tidak menduga jika diandra akan datang.

"gimana dia?" tanya sabrina begitu melihatku kembali keruangan dengan lesu.Aku hanya mampu menggeleng tidak berniat untuk bersuara. "maaf, aku tidak bisa mengendalikan diri, aku tidak bersabar sampai menunggumu berpisah dengan dia" ucap sabrina lembut sambil memelukku dari belakang.

"tidak perlu meminta maaf, kita yang salah karna tidak bisa menahan diri"ucapku lirih sambil berbalik memeluknya, entahlah, aku tidak tega melihat sabrina sedih dan merasa bersalah, tapi disisi lain aku juga tidak rela diandra yang sedang mengandung anakku merasakan sakit dan bodohnya rasa sakit itu aku yang menimbulkan. Aku selalu berjanji bahwa aku akan menjadi suami dan ayah yang baik bagi diandra tapi faktanya saat ini justru aku yang melukainya dan tidak baik untuknya.Jika aku harus memilih dan bukan hanya jika tapi aku memang harus memilih, aku belum menemukan jawabannya.

"pak didepan pintu masuk banyak wartawan dan bu diandra eh maaf pak saya gak ketuk pintu dulu" ucap septi sambil mengalihkan pandangannya dariku dan juga sabrina yang sedang berpelukan, ada rasa malu dan tidak enak karna apa yang aku lakukan barusan, aku segera melepas pelukan sabrina dan berjalan mendekat ke septi.

"wartawan?"tanyaku lagi.

"iya pak, bu diandra sekarang sedang diserbu oleh wartawan, bu diandra terlihat seperti orang linglung pak" ucap septi. Aku segera berlari untuk menyelamatkan diandra, aku tidak memperdulikan tatapan mata para pengunjungku, saat aku membuka pintu, kerumunan itu sudah berada diparkiran mobil tidak jauh dari pintu masuk, aku hanya bisa bernafas lega, setidaknya diandra sudah diselamatkan. Sekalipun untuk yang kesekian kalinya aku menyesal karna tidak bisa menyelamatkan dia.Tidakkah rasa penyesalan yang timbul pada diriku selalu dikarnakan dia, penyesalan yang terjadi karna aku tidak bisa menjaga dan menjadi yang terbaik untuknya. Dan rasa penyesalanku ini juga selalu menimbulkan rasa sakit bagi dirinya.

****

Aku memandang wajah istriku, yah istriku yang sudah lima bulan ini aku nikahi. Yang sudah hampir lima bulan ini menemaniku. Tinggal satu atap dengannya menghabiskan sebagian waktu bersamanya, partner diskusi, partner berdebat. Tanpa aku sadari diandra telah menjadi orang yang sangat spesial bagiku. Dan aku baru tersadar saat ini.Saat biasanya suara sapaannya terdengar ketika aku pulang. Saat dia akan mengomel ketika aku langsung mengambil makanan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan atau ganti baju. Tapi tadi, saat aku pulang,aku tidak mendengar suara itu, aku disambut oleh tatapan murka jaya dan karin, dan sekarang aku melihat istriku tertidur pulas seakan semua baik-baik saja. Entah sejak kapan ada rasa nyaman dan damai ketika menyebut istri pada dirinya.

The Third PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang