"Apa bisa di katakan pergi jika hatiku masih bersedia menjadi rumah, setia menunggu kembali kepulanganmu?"
the second chance•5
FARAH pusing luar biasa saat Pak Haradi mengingatkan bahwa deadline lomba theater kurang satu bulan lebih satu minggu. Akhirnya keputusan Pak Haradi sudah bulat, ia kembali menarik Niko sebagai pemain theater, padahal Niko sendiri sudah senior, dan kelas dua belas tidak boleh mengikuti ekstra kurikuler satupun, katanya takut menganggu belajar mereka.
Tapi nyatanya, ya sudahlah, memang mulai hari ini sampai ke depan Farah harus bergelut dengan text drama yang super duper panjang.
"Farah!" Ovia berteriak di ambang pintu. Untung Ovia cantik, jadi teman laki-laki di kelas Farah dengan senang hati mendengar suara yang cemprengnya gak banget itu, "Loh, Rachel dimana?" tanya Ovia saat mendapati bangku sebelah Farah kosong.
"Ijin, katanya jemput Kak Alex dateng ke Indo pagi ini," kata Farah enteng lalu memasukkan skrip drama ke dalam tasnya. "Kenapa? Masih cinta lo?" tanya Farah saat melihat perubahan warna wajah Ovia.
Dulu Ovia sempet deket sama Kak Alex, kakaknya Rachel. Deket doang, gak jadian. Nyesek iya, sama-sama cinta tapi takut sama jarak. Ya udah, jadi pilih jalan masing-masing aja.
"Gue masih mau move dari mantan lo ingetin ke Alex!" gerutu Ovia sambil menggeser-geser layar ponselnya.
Farah tahu tujuan Ovia datang ke kelasnya adalah membayar hutang ceritanya tadi malam. Maka dari itu Ovia menunjukkan beberapa obrolannya dengan temannya yang mengaku teman Radit di sekolah lamanya dulu. Farah dengan teliti membacanya walaupun sepenuhnya ia belum paham apa yang di maksud teman Ovia itu.
"Sini, muka lo gak mudeng sama kalo di tanyain soal Limit Fungsi!" kata Ovia lalu merebut ponselnya dari Farah.
"Tapi lo janji jangan bilang ini ke siapa-siapa. Ke Radit sendiri pun jangan, tunggu dia yang bilang ke lo duluan. Oke?" Ovia mulai mendekatkan badannya ke arah Farah, ia melihat-lihat sekitar memastikan tidak ada telinga jahil yang mendengar pembicaraan mereka.
"Radit sama Kak Niko itu saudaraan," kata Ovia.
"Saudara gimana?" Farah mulai memutar badannya menghadap Ovia.
Kalau saudaraan kenapa harus musuhan? Berarti yang kemarin juga makam orang tua Niko? Tapi sifat mereka kok bisa berbanding terbalik gitu.
"Radit katanya adiknya Kak Niko, kalau soal mereka musuhan gue masih enggak tau," jelas Ovia.
Masih setengah percaya, itu semua masih berdasarkan 'katanya' bukan kata Radit sendiri. Sepintas Farah membanding-bandingkan kedua wajah laki-laki itu, tidak ada persamaan yang begitu mencolok sebenarnya. Jadi semua mana tahu kalau mereka berdua kakak dan adik?
"Gue yakin gak lama lagi Radit bakalan cerita tentang ini ke lo. Gue tau cuma lo yang di anggep penting sama Radit,"
"Tapi kalau enggak?" kata Farah sedikit putus asa. Tiba-tiba ada rasa kecewa saat Radit ternyata menyimpan rahasia besar dari dirinya.
"Farah, Radit itu cowok. Ga mungkin juga dia kayak kita yang ada masalah langsung cerita minta solusi ke temen-temennya. Tapi suatu hari dia bakalan cerita tentang hidupnya yang masih abu-abu ke lo," kata Ovia sambil menatap Farah dengan tatapan menenangkan, "Trust me," Ovia menunjukkan jari kelingkingnya pada Farah.
•••
"Permisi Bu," tiba-tiba seluruh seluruh penghuni kelas 11 IPA 3 menoleh ke sumber suara yang telah memecahkan konsentrasi mereka saat sibuk mengingat nama latin di soal ulangan Biologi yang rumitnya bukan main.
"Ngapain kamu kesini, Dit!" Bu Eva tiba-tiba berubah jutek saat ternyata tahu yang bilang permisi itu Radit.
Radit hanya berdiri di ujung pintu dengan senyum cengirannya. Ganteng, yang bilang Radit gak ganteng mungkin lagi buta, atau kalau gak gitu iri kalah ganteng, sama kayak Satrio teman sekelas Farah yang mengaku haters Radit nomer satu.
"Bu, ulangannya ngambil jam istirahat ya?" tanya Radit.
"Nyapo kowe bocah IPS arep nyobak ulangan Biologi? Rene! (Apa kamu anak IPS mau nyoba ulangan Biologi? Kesini!)" kata Bu Eva dengan ketus. Radit cuma tertawa, lalu dia berdiri di depan meja Bu Eva.
"Saya setia di IPS aja, gak minat selingkuh sama IPA," kata Radit. Lalu kelas mendadak ricuhnya seperti pasar. Semua tertawa kecuali Farah yang hanya diam konsentrasi menghadap soal.
"Saya titip siomay, Bu. Kasihin buat anak nomer absen 17 yang lagi serius banget ngerjain ulangan padahal lupa belajar tadi malem," kata Radit seperti berbisik tapi mampu tembus ke dalak telinga Farah.
Farah mendongak tepat saat Radit melempar senyum kecil untuknya. Sedikit jengkel karena yang di bilang Radit barusan benar, Farah lupa belajar tadi malam. Ke asikan membaca cerita online sampai ketiduran.
"Iya gampang. Keluar sana kamu! Ganggu anak saya ulangan aja," kata Bu Eva kali ini benar-benar sewot. Tapi semua sudah tahu kalau Bu Eva gak lagi marah, memang model orangnya kayak begitu.
Hampir setengah jam berlalu, akhirnya Farah berhasil menjawab semua soal isian dengan daya ingat seadanya. Tanpa browsing atau ngintip-ngintip catatan di bawah kolong meja, Bu Eva memang galak, kalau ulangan duduknya harus di acak sama semua buku biologi di kumpulkan, tanpa terkecuali.
Gimana mau nyontek? Nilai tujuh puluh aja udah berasa master.
"Ini siomay kamu," kata Bu Eva sebelum keluar dari dalam kelas. Farah menerimanya dengan ragu, cara Bu Eva lihat dia aja udah kayak heran banget.
"Makasih, Bu.." kata Farah.
Setelah itu semua teman-teman Farah bernafas lega saat jam biologi benar-benar berakhir, jadi kurang satu jam pelajaran lagi maka bel tanda pulang sekolah berbunyi. Ponsel Farah bergetar menandakan setidaknya ada pemberitahuan yang masuk. Ia menggeser layarnya dan langsung masuk ke dalam aplikasi LINEnya.
LINE
Kak Niko : Far, pulang sekolah lo ada waktu? Gue mau ngomong berdua soal theater. –Niko
Sebenarnya Farah belum pernah punya kontak Niko, tapi berhubung Ovia yang di LINEnya punya beratus-ratus teman cogan, jadi Ovia iseng menambahkannya ke kontak Farah. Katanya buat kenalan, nyatanya sekali mulai nge-chat aja Farah gak pernah.
Dalam hati ia berdoa semoga khusus hari ini Radit tidak mengajaknya pulang bersama, ia tak mau Radit bertengkar dengan Niko Cuma gara-gara persoalan yang gak jelas.
k.farah : Ada, Kak. Iya bisa. read 11:49
Baru saja ia mengirim balasan, tiba-tiba Abdul berlari menghampiri bangkunya, "Far, lo di cariin Bos Niko!"
Padahal jantung Farah sudah berdebar-debar tidak karuan, terlalu takut mendengar tentang Radit yang bertengkar lagi-lagi. Dirinya menengok ke depan dan benar saja ada Niko yang menunggunya sendirian di depan
Dalam hati Farah membatin bahwa Niko sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Radit yang katanya saudaranya. Niko lebih rapi dan lebih menjurus ke murid yang punya segudang prestasi di akademik maupun non akademik. Lebih sopan tapi sama-sama gantengnya dengan Radit. Yang terakhir ini penilaian dari semua teman-teman Farah, bukan Farah sendiri yang menilainya.
"Ada apa, Kak?" tanya Farah langsung. Niko berdiri menyamai Farah.
"Gimana ya," kata Niko sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali, "Radit nggak papa kalau lo nanti pulang sama gue?"
"Eh—anu," Farah tiba-tiba jadi gelagapan. Padahal pacar saja bukan, ngapain juga harus minta ijin ke Radit, "Gak papa kak, kan ini penting. Nanti gue bilang ke dia aja," jawaban Farah membuat Niko begitu lega. Setelah mendengar jawaban Farah, laki-laki itu langsung pamit dan kembali ke dalam kelasnya yang tepat di atas kelas Farah.
Farah menengok sebentar ke arah kelas Radit, ia menghela nafasnya lega saat mengetahui bahwa semua murid kelas Radit sedang berada di Lab. Bahasa.
Untung Radit enggak lihat, Batin Farah dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Chance
Teen Fiction[BELUM DI EDIT] Ini tentang masa di Putih Abu-Abu, juga tentang perasaan abu-abu yang berganti menjadi satu warna terang. Tentang perempuan yang bertemu dengan dua laki-laki yang jauh berbeda. Belajar mengetahui arti detak jantung yang tak beraturan...